Neo-Khawarij (3)

Demonstrasi II

Berkata Syaikh Sholeh Alu Syaikh, “…para penguasa, mereka hanya boleh diingkari jika melakukan kemungkaran secara langsung oleh mereka sendiri dan si pengingkar melihat penguasa tersebut melakukan kemungkaran di hadapannya. Dan atsar-atsar salaf yang menunjukkan pengingkaran salaf terhadap penguasa dibawakan kepada faedah ini.

Dan seluruh hadits yang ada -dan jumlahnya banyak, lebih dari sepuluh atau dua belas hadits tentang permasalahan ini- dan disebutkan di dalam hadits-hadits tersebut sesuai dengan kaidah (Di antaranya hadits, “Sebaik-baik jihad adalah mengucapkan kalimat yang adil di sisi penguasa yang zalim.” Akan datang penjelasannya -pen) ini yaitu mereka mengingkari suatu kemungkaran yang dilakukan oleh penguasa di hadapan mereka. Dan bukanlah petunjuk salaf mereka mengingkari penguasa karena kemungkaran yang dijalankan di wilayah pemerintahannya.

Oleh karena itu tatkala timbul beberapa ijtihad-ijtihad hukum yang dilakukan oleh Utsman dan dikatakan kepada Usamah bin Zaid, “Mengapa engkau tidak menasihati Utsman? Tidakkah engkau lihat apa yang telah dilakukannya?”, Usamah berkata, “Adapun aku, aku telah menasihatinya secara sembunyi-sembunyi, aku tidak ingin menjadi pembuka fitnah.”

Maka salaf membedakan kemungkaran -yang dilakukan penguasa- di hadapan khalayak sebagaimana Amir yang mendahulukan khotbah ‘Ied sebelum sholat ‘Ied, demikian pula penguasa yang datang di hadapan khalayak dengan menggunakan dua pakaian, dan keadaan-keadaan yang lainnya yang seperti ini, maka salaf membedakan antara kemungkaran yang dilakukan penguasa secara terang-terangan di hadapan khalayak dan antara kemungkaran yang terjadi di wilayah penguasa tersebut, mereka menjadikan kemungkaran yang berlaku di wilayah penguasa dalam bab nasihat (bukan bab mengubah kemungkaran), adapun kemungkaran yang dilakukan penguasa secara terang-terangan di hadapan khalayak termasuk dalam bab mengubah kemungkaran sesuai dengan hadits “Barangsiapa di antara kalian yang melihat kemungkaran maka hendaknya dia mengubah dengan tangannya”, tentunya dengan hikmah tatkala mengubah kemungkaran. Oleh karena itu seseorang berkata kepada Ibnu ‘Abbas (Ibnu Rojab membawakan Atsar ini dalam Jami’ul ‘Ulum wal Hikam 1/225 -pen), “Bolehkah aku mendatangi penguasa lalu aku menyerunya untuk berbuat yang ma’ruf dan melarangnya dari berbuat kemungkaran?” Ibnu ‘Abbas berkata, “Janganlah kau lakukan!, jika kau tetap melakukannya maka lakukanlah dengan empat mata antara engkau dan dia…” (Dari Syarah Al-Arba’in An-Nawawiyah, hadits yang ke-34)

Dua hadits ini dzohirnya (yaitu lafal di sisi penguasa dan lafal pergi menuju penguasa) menunjukkan bahwa yang mengingkari penguasa tersebut bertemu langsung dengan penguasa. Itu pun dengan syarat tidak membahayakan orang lain.

Berkata Ibnu Rojab, “Jika dia takut pengingkarannya terhadap kemungkaran yang dilakukan penguasa mengakibatkan gangguan pada keluarganya atau tetangganya maka tidak boleh baginya untuk mengingkari penguasa tersebut karena bahaya yang ditimbulkan merembet kepada orang lain.’ (Jami’ul ‘Ulum wal Hikam 2/249)

Renungan

Berkata Ibnu Abil Al-Hanafi, “…Adapun kewajiban tetap menaati mereka meskipun mereka bertindak zalim karena membangkang kepada mereka mengakibatkan kerusakan dan mafsadat yang jauh lebih besar dibandingkan kezaliman yang mereka lakukan. Bahkan dengan bersabar atas kezaliman mereka menghapus dosa-dosa dan melipatgandakan pahala. Karena sesungguhnya Allah tidaklah menjadikan penguasa yang zalim tersebut menguasai kita kecuali karena rusaknya amal perbuatan kita. Dan balasan sesuai dengan perbuatan. Maka wajib bagi kita untuk bersungguh-sungguh (dalam beramal), beristighfar, bertaubat, serta meluruskan amal perbuatan. Allah berfirman:

وَمَا أَصَابَكُم مِّن مُّصِيبَةٍ فَبِمَا كَسَبَتْ أَيْدِيكُمْ وَيَعْفُو عَن كَثِيرٍ

“Dan apa saja musibah yang menimpa kalian maka adalah disebabkan oleh perbuatan tangan kalian sendiri, dan Allah memaafkan sebagian besar(dari kesalahan-kesalahan kalian).” (QS. Asy-Syura: 30)

Dan juga firman Allah:

أَوَلَمَّا أَصَابَتْكُم مُّصِيبَةٌ قَدْ أَصَبْتُم مِّثْلَيْهَا قُلْتُمْ أَنَّى هَـذَا قُلْ هُوَ مِنْ عِندِ أَنْفُسِكُمْ

“Dan mengapa tatkala kalian ditimpa musibah (pada peperangan Uhud), padahal kalian telah menimpakan kekalahan dua kali kepada musuh-musuh kalian (pada peperangan Badar) kalian berkata, “Dari mana datangnya kekalahan ini?” Katakanlah, “Itu dari (kesalahan) diri kalian sendiri.” (QS. Ali Imron: 165)

Dan Allah berfirman:

مَّا أَصَابَكَ مِنْ حَسَنَةٍ فَمِنَ اللّهِ وَمَا أَصَابَكَ مِن سَيِّئَةٍ فَمِن نَّفْسِكَ وَأَرْسَلْنَاكَ لِلنَّاسِ رَسُولاً وَكَفَى بِاللّهِ شَهِيداً

“Apa saja nikmat yang kalian peroleh adalah dari Allah, dan apa saja bencana yang menimpa kalian maka dari (kesalahan) kalian sendiri.” (QS. An Nisaa: 79)

Allah juga berfirman:

وَكَذَلِكَ نُوَلِّي بَعْضَ الظَّالِمِينَ بَعْضاً بِمَا كَانُواْ يَكْسِبُونَ

“Dan demikianlah Kami jadikan sebagian orang- orang yang ddzolim itu menjadi teman bagi sebagian yang lain disebabkan apa yang mereka usahakan.” (QS. Al An’am 129)

Maka jika rakyat ingin terbebas dari kezaliman penguasa yang zalim maka hendaknya mereka meninggalkan kezaliman…” (Syarah Aqidah At-Thohawiyah hal 381)

Allah telah berfirman yang artinya:

إِنَّ اللّهَ لاَ يُغَيِّرُ مَا بِقَوْمٍ حَتَّى يُغَيِّرُواْ مَا بِأَنْفُسِهِمْ

“Sesungguhnya tidak akan mengubah keadaan suatu kaum hingga mereka meruabah keadaan yang ada pada diri merka sendiri.” (QS. Ar Ra’d 11).

Berkata Syaikh Abdul Malik, “Betapa jelas dan gamblang ayat ini. Namun kendati ayat ini sangat jelas ternyata mayoritas orang-orang yang menamakan diri mereka dengan nama-nama pergerakan Islam telah berusaha dan kondisi mereka (seakan-akan) berkata, “sesungguhnya Allah tidak akan mengubah keadaan suatu kaum hingga mereka mengubah kondisi pemerintah mereka!!!” laa haula wala quwwata illa billah. Mereka menutup mata terhadap siroh Nabi yang menjelaskan hal ini dengan terperinci.

Mereka mengabaikan bahwasanya mereka tidak akan jaya hingga menerapkan hukum-hukum agama pada diri-diri mereka sendiri, sebagaimana dijelaskan dalam hadits Ibnu ‘Umar bahwasanya Nabi bersabda, “Bila kamu telah jual beli dengan sistem ‘inah, dan mengikuti ekor-ekor sapi, puas dengan pertanian, serta kalian tinggalkan jihad, niscaya Allah akan menimpakan kehinaan atas kalian dan tidak akan melepaskan kehinaan tersebut hingga kalian kembali pada ajaran agama kalian.” (HR. Abu Dawud, derajat hadits ini hasan). Itulah hukum Allah dan Rasul-Nya.

تِلْكَ آيَاتُ اللَّهِ نَتْلُوهَا عَلَيْكَ بِالْحَقِّ فَبِأَيِّ حَدِيثٍ بَعْدَ اللَّهِ وَآيَاتِهِ يُؤْمِنُونَ

“Itu adalah ayat-ayat Allah yang kami firmankan dengan benar kepadamu, maka dengan perkataan manakah lagi mereka akan beriman sesudah (kalam) Allah dan keterangan-keteranganNya.” (QS. Al-Jatsiah: 6)

Saudara-saudaraku sekalian berhati-hatilah, jangan sampai menolak kebenaran dengan berhukum kepada pernyataan kalian atau terperdaya dengan pengalaman-pengalaman kalian atau hanya ingin memuaskan ide-ide encer kalian!!!, bukankah Allah telah menegaskan bahwa tidak ada kekuasaan di muka bumi dan tidak ada pemerintahan tidak juga aman, dan tidak juga pertolongan kecuali dengan umat?. Namun umat yang mana?!. Umat tersebut adalah umat yang taat beribadah beserta dengan tauhid yang murni. Bacalah suatu perkataan yang tidak bisa didatangi oleh kebatilan baik dari depan maupun dari belakang, yang perkataan tersebut diturunkan dari Zat Yang Maha Bijak lagi Maha Terpuji:

وَعَدَ اللَّهُ الَّذِينَ آمَنُوا مِنكُمْ وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ لَيَسْتَخْلِفَنَّهُم فِي الْأَرْضِ كَمَا اسْتَخْلَفَ الَّذِينَ مِن قَبْلِهِمْ وَلَيُمَكِّنَنَّ لَهُمْ دِينَهُمُ الَّذِي ارْتَضَى لَهُمْ وَلَيُبَدِّلَنَّهُم مِّن بَعْدِ خَوْفِهِمْ أَمْناً يَعْبُدُونَنِي لَا يُشْرِكُونَ بِي شَيْئاً

“Dan Allah telah berjanji kepada orang-orang yang beriman di antara kalian dan mengerjakan amalan-amalan soleh, bahwa Dia sungguh-sungguh akan menjadikan mereka berkuasa di bumi, sebagaimana Dia akan meneguhkan bagi mereka agama yang diridhoi-Nya untuk mereka, dan Dia benar-benar akan mengubah (keadaan) mereka sesudah mereka berada dalam ketakutan menjadi aman sentosa. Mereka tetap menyembah-Ku dengan tiada mempersekutukan sesuatu apapun dengan Aku.” (QS An-Nuur: 55) (Madarikun Nazhar hal 149-150)

Umar bin Yazid berkata, “Saya mendengar Al-Hasan Al-Bashri -di masa kekuasaan Yazid bin Muhallab. Tatkala itu datang kepadanya sekelompok orang, maka beliau pun memerintah mereka agar tetap tinggal di rumah-rumah mereka dan mengunci pintu-pintu rumah mereka, lalu beliau berkata, “Demi Allah, seandainya manusia diuji dengan kezaliman penguasa mereka lantas mereka bersabar niscaya akan mengangkat musibah yang mereka hadapi tersebut.” Akan tetapi mereka memilih penyelesaian dengan pedang maka penyelesaian itu pun diserahkan kepada mereka sendiri. Dan demi Allah mereka tidak akan mendatangkan kebaikan sama sekali”. Kemudian mereka membaca sebuah ayat:

وَتَمَّتْ كَلِمَتُ رَبِّكَ الْحُسْنَى عَلَى بَنِي إِسْرَائِيلَ بِمَا صَبَرُواْ وَدَمَّرْنَا مَا كَانَ يَصْنَعُ فِرْعَوْنُ وَقَوْمُهُ وَمَا كَانُواْ يَعْرِشُونَ

“Dan telah sempurnalah perkataan Robbmu yang baik (sebagai janji) untuk Bani Israil disebabkan kesabaran mereka. Dan Kami hancurakan apa yang telah diperbuat oleh Fir’aun dan kaumnya dan apa yang telah mereka bangun.” (QS. Al A’raf: 137)

Berkata Syaikh Abdul Malik, “Diriwayatkan oleh Ibnu Sa’ad (7/164), Ibnu Abi Hatim dalam tafsirnya (III/lembaran 178-I naskah Al-Mahmudiah), Al-Aajurri dalam As-Syari’ hadits (65-menurut penomoran yang saya berikan) dan saya telah jelaskan sisi penghasanan riwayat ini, kesempatan yang singkat ini tidak cukup untuk menjelaskannya.”

Dan demikianlah salafus sholih, sangat yakin dengan janji Allah, dan tidak ragu untuk menerapkan sunnah Rasul-Nya.

Berkata Syaikh Imam Abdul Lathif bin Abdurrohman bin Husain Alu Syaikh membantah syubhat yang dilontarkan oleh orang-orang yang gemar membangkang pada penguasa “…Dan mereka (penebar syubhat) yang terfitnah tidak mengetahui bahwasanya mayoritas penguasa kaum muslimin semenjak masa Yazid bin Mu’awiyyah -kecuali Umar bin Abdul Aziz dan sebagian penguasa yang lainnya dari kalangan Bani Umayyah- telah melakukan bencana dan kerusakan-kerusakan yang besar di wilayah kekuasaan mereka. Namun demikian biografi dan perjalanan Imam (Ahlus Sunnah) telah kita ketahui bersama, mereka sama sekali tidak melepaskan tangan mereka dari ketaatan kepada para penguasa yang zalim tersebut pada perkara-perkara yang diperintahkan oleh Allah dan Rasul-Nya berupa hukum-hukum Islam dan kewajiban-kewajiban dalam agama.

Dan saya beri contoh bagi kalian, misalnya Hajjaj bin Yusuf Ats-Tsaqofi yang telah tersohor di kalangan kaum muslimin tentang kezalimannya dan kekerasan serta terlalu banyak menumpahkan darah kaum muslimin. Juga melanggar batasan-batasan Allah dan membunuh para pemuka umat Islam seperti Sa’id bin Jubair dan dia mengepung Ibnu Zubair padahal Ibnu Zuabir berlindung di Masjidil Haram yang mulia. Maka Hajjaj pun melanggar kehormatan Masjidil Haram dan membunuh Ibnu Zubair -padahal Ibnu Zubair telah diberikan hak untuk ditaati dan dibai’at oleh seluruh penduduk Mekkah, Madinah, Yaman, dan mayoritas penduduk Irak. Adapun Hajjaj hanyalah wakil dari Marwan kemudian berikutnya menjadi wakil dari Abdul Malik (putra Marwan), padahal Marwan tidak ada seorang khalifah pun yang memilihnya dan tidak juga dibai’at oleh Ahlul Hill wal ‘Aqd -meskipun demikian tidak ada seorang ahli ilmu pun yang berhenti dari ketaatan kepadanya dan tunduk melaksanakan perintahnya pada perkara-perkara yang boleh baginya untuk ditaati yaitu pada rukun-rukun Islam dan kewajiban-kewajiban dalam Islam.

Ibnu Umar dan sahabat Rasulullah yang lainnya yang menjumpai masa Hajjaj seperti Ibnul Mussyaib, Al-Hasan Al-Bashri, Ibnu Sirrin, Ibrohim At-Taimi dan yang semisal mereka dari kalangan pemuka-pemuka Islam.

Demikianlah sikap seperti mereka ini berlanjut dan ditempuh oleh para pemuka Islam setelah mereka. Mereka memerintahkan untuk taat kepada Allah dan Rasul-Nya dan untuk berjihad di jalan-Nya di bawah pimpinan penguasa, baik penguasa tersebut saleh maupun fajir sebagaimana hal ini sudah diketahui bersama dalam buku-buku Ushuluddin dan Aqidah.

Demikian juga Bani Abbasiah, yang mereka menguasai negeri-negeri kaum muslimin dengan paksaan dan tidak seorang pun dari Ahlul Ilmi dan ahli agama yang membantu mereka. Bahkan mereka membunuh jumlah yang besar dari rakyat bani Umayyah demikian pemimpin mereka dan wakil-wakilnya. Mereka membunuh Ibnu Hurairah penguasa Irak dan membunuh Khalifah Marwan sampai-sampai dinukilkan bahwa seorang pembunuh (dari bani Abbasiah) dalam satu hari membunuh sekitar delapan puluh orang dari bani Umayyah kemudian meletakkan karpet di atas mayat-mayat mereka lalu duduk di atas karpet tersebut sambil meminta hidangan makanan dan minuman.

Meskipun demikian biografi dan perjalanan para Imam (Ahlus Sunnah) seperti Al-Auza’i, Malik, Az Zuhri, Al-Laits bin Sa’ad dan Atho’ bin Robah, bagaimana sikap mereka terhadap para penguasa lalim tersebut telah ma’ruf (diketahui) di kalangan para penuntut ilmu dan yang sering membaca (yaitu para imam tersebut tidak memberontak kepada para penguasa lalim tersebut).

Dan generasi kedua dari kalangan para ulama seperti Ahmad bin Hanbal, Muhammad bin Isma’il (Al-Bukhari), Muhammad bin Idris (Asy-Syafi’i), Ahmad bin Nuh, Ishaq bin Rohawaih, dan saudara-saudara mereka….terjadi di masa mereka bid’ah-bid’ah yang sangat berbahaya dan pengingkaran sifat-sifat Allah yang dilakukan oleh para penguasa, bahkan para Imam tersebut dipaksa untuk mengikuti bid’ah-bid’ah para penguasa tersebut dan dipaksa sehingga sebagian mereka dibunuh (karena mempertahankan aqidah yang benar) seperti Muhammad bin Nashr. Meskipun demikian tidak diketahui seorang pun dari mereka ada yang melepaskan tangannya dari ketaatan dan tidak seorang pun dari mereka yang memandang bolehnya memberontak…)) (Ad-Duror As-Saniyah fil Ajwibah An-Nejdiyah 7/177-178 (sebagaimana dinukilkan oleh Syaikh Abdus Salam bin Barjas dalam Mu’amalatul Hukkam hal 9-10)

Demikianlah jalan salaf dan para ulama Ahlusunnah dalam menyikapi penguasa yang zalim. Masihkah anda ragu untuk mengikutinya…?? Ataukah anda mengikuti jalan selain mereka…?? Ya Allah lindungilah kami dari kesesatan.

Ponpes Jamilurrahman, Yogyakarta 28 Agustus 2004

Daftar Pustaka:
1. I’lamul Muwaqqi’qin ‘an Robil ‘Alamin, Ibnul Qoyyim, Darul Jail
2. Syarah Al-Arba’in An-Nawawiah, Syaikh Sholeh bin Abil ‘Aziz Alu Alu Syaikh.
3. Jami’ul ‘Ulum wal Hikam, Ibnu Rojab Al-Hanbali, tahqiq Al-Arna’uth, Muassah ar-Risalah.
4. Syarah Al-Aqidah Ath-Thohawiyah, Ibnu Abil ‘Iz Al-Hanbali, Al-Maktab Al-Islami.
5. Minhajus Sunnah An-Nabawiyah, Ibnu Taimiyah.
6. Al-Ishobah fi Tamyiizi As-Sunnah-Sohabah, Ibnu Hajar,Darul Kuttub Al-‘Arobi.
7. Hadyus Sari, Ibnu Hajar, Al-Maktabah As-Salafiah.
8. Fathul Bari, Ibnu Hajar, Al-Maktabah As-Salafiah.
9. Al-Khowarij Awwalul Firoq fi Tarikh Al-Islam, DRr Nashir bin Abdul Karim Al-‘Aql, Darul Waton.
10. Madarikun Nazhar fis Siyasah, Syaikh Abdul Malik Al Jazairi, Dar Sabilul Mu’minin, cetakan kedua 1418 H.
11. Majmu’ Al-Fatawa, Ibnu Taimiyah, tahqiq DR Mohammad Rosyad Salim.
12. Nawaqidhul Iman Al-Qouliyah wal ‘Amaliah, DR Abdul Aziz Alu Abdul Latif, Dar Al-Waton.
13. Silsilah Al-Fatawa Asy-Syar’iah, Abul Hasan Musthofa bin Ismail, Darul Hadits Ma’rib.
14. Tuhfatul Ahwadzi, Syaikh Al-Mubarokfuri, darul Fikr.
15. ‘Aunul Ma’bud, Syamsul Haq Al-Abadi, Darul fikr.
16. Kidzbah Harokiyah, Syaikh Abdul Malik Al-Jazairi, terbitan Al-Jazair.
17. Mu’amalatul Hukkam fi Dhou’il Kitab was Sunnah, Abdus Salam bin Barjas bin Nashir Alu Abdil karim, cetakanketiga 1415, terbitan Riyadh.

***

Penulis: Ustadz Abu Abdil Muhsin Firanda
(Makalah Dauroh Diniyah II 2004, Masjid Kampus UIN Yogyakarta)

Dikutip dari : WWW.MANHAJ.OR.ID

Posted on Juni 22, 2008, in Khawarij and tagged , . Bookmark the permalink. Tinggalkan komentar.

Tinggalkan Balasan

Isikan data di bawah atau klik salah satu ikon untuk log in:

Logo WordPress.com

You are commenting using your WordPress.com account. Logout /  Ubah )

Foto Facebook

You are commenting using your Facebook account. Logout /  Ubah )

Connecting to %s

%d blogger menyukai ini: