Benarkah Kisah Umar radhiyallahu ‘anhu Telah Menghukum Cambuk Anaknya Hingga Wafat?

Oleh : Ustadz Ahmad Sabiq bin Abdul Latif Abu Yusuf hafidzahullah

Al Kisah

Diriwayatkan dari Mujahid, beliau berkata, “Pada suatu ketika di majelisnya Ibnu Abbas, orang-orang menyebut-nyebut keutamaan Abu Bakar kemudian Umar. Tatkala Ibnu Abbas mendengarnya tiba-tiba beliau menangis pilu sampai pingsan. Saat sadar beliau berkata, “Semoga Allah merahmati seseorang yang celaan orang lain tidak menyurutkannya dari jalan Allah. Semoga Allah merahmati seseorang yang membaca al Qur’an lalu mengamalkannya serta menegakkan hukum Allah sebagaimana Dia perintahkan. Tidak ada yang dapat mempengaruhinya baik kerabat maupun orang jauh. Saya pernah melihat Umar menghukum cambuk putranya sendiri sampai wafat. Kemudian beliau menangis dan orang di sekeliling beliau pun ikut menangis. Kami pun berkata, “Wahai ponakan Rasulullah, jika kamu tidak keberatan, ceritakanlah kepada kami kejadian itu.”

Ibnu Abbas pun mengabulkan permintaan mereka, yang ringkas ceritanya adalah berikut ini:

“Suatu ketika saya berada di masjid Nabawi, saai itu Umar sedang menyampaikan ceramah kepada manusia. Tiba-tiba ada seorang wanita yang datang langsung maju menghadap Umar lalu berkata, “Assalamu’alaikum wahai Amirul Mukminin.” Umar pun menjawab salamnya lalu berkata, “Wahai hamba Allah, apakah engkau mempunyai keperluan denganku?” dia menjawab, “Ya, sebuah keperluan yang sangat penting. Ambillah anakmu ini wahai Amirul Mukminin, karena engkau lebih berhak dari padaku.”

Wanita itu membuka apa yang dia bawa, ternyata isinya seorang anak dalam gendongannya. Umar pun berkata, “Saya tidak mengenalmu, lalu bagaimana mungkin bayi ini adalah anakku?” Wanita itu pun menangis lalu berkata, “Wahai Amirul Mukminin, memang bukan anakmu secara langsung, tapi ini anak dari anakmu.” Umar menyela, “Anakku yang mana?” Wanita itu menjawab, “Abu Syahmah.””Anak itu hasil hubungan halal atau haram?” lanjut Umar. Wanita itu pun menjawab, “Halal dariku, namun haram darinya.” Bagaimana bisa begitu?” Kata Umar. Wanita itu menjawab, “Dengarkanlah ceritaku wahai Amirul Mukminin.”

“Pada suatu hari saya lewat di kebun bani Najjar untuk menyelesaikan sebuah keperluanku, tiba-tiba ada yang berteriak dari belakang, ternyata dia adalah anakmu Abu Syahmah, dia mabuk karena barusan minum khomr pada sebuah acara sembelihan seorang Yahudi. Dia langsung menyeretku ke kebun dan sayapun pingsan, akhirnya dia memperkosaku. Akhirnya sayapun hamil dan melahirkan, dan inilah anak itu wahai Amirul Mukminin.”

Setelah mendengar cerita tersebut, Umar segera mengumpulkan kaum Muhajirin dan Anshor dan meminta mereka untuk menunggu sampai ada keputusan darinya.

Umar pun menuju rumah putranya Abu Syahmah. Sambil bersumpah atas nama Allah, Umar menanyakan kebenaran cerita wanita tersebut. Ternyata anaknya mengakui itu semua. Umar pun menyeretnya ke masjid. Abu Syahmah berkata, “Ayah, jangan hukum saya di depan umum, habisilah saya di sini saja.” Maka Umar membaca firman Allah Ta’ala (yang artinya):

“Dan hendaklah (pelaksanaan) hukuman mereka disaksikan oleh sekumpulan dari orang-orang yang beriman.” [QS.an-Nur: 2]

Sesampainya di areal masjid, Umar pun melaksanakan hukum cambuk untuk anaknya, dan yang melaksanakan hukuman itu adalah budak beliau bernama Aflah. Para Sahabat lainnya pun menangis histeris, meminta kepada Umar agar tidak menyempurnakan hukuman sekaligus. Ibunya pun menangis meminta maaf kepada Umar, dan akan menebus setiap kali cambukan dengan melaksanakan haji. Namun beliau tak bergeming. Sehingga tatkala lengkap seratus cambukan, Abu Syahmah pun meninggal dunia. Umar pun meletakkan jenazahnya di pangkuan beliau seraya berkata, “Wahai anakku, Semoga Allah menghapus dosa-dosamu, siapakah orang yang tidak dikasihi oleh bapak dan keluarganya?” Melihat peristiwa itu manusia pun kembali menangis.

Empat puluh hari setelah kejadian tersebut, Hudzaifah bin Yaman datang kepada Umar bercerita, “Semalam saya mimpi bertemu dengan Rasulullah, di dekatnya ada seorang pemuda yang mengenakan dua baju indah berwarna hijau. Rasulullah bersabda, “Sampaikan salamku kepada Umar, katakan kepadanya, “Demikianlah Allah memerintahkannya untuk membaca al-Qur’an dan menegakkan hukum-Nya.” Lalu pemuda itu berkata, “Sampaikan salam kepada ayahku, semoga Allah mensucikannya sebagaimana dia mensucikan saya.”

Takhrij Kisah

Kisah ini diriwayatkan oleh Imam Ibnul Jauzi rahimahullah dalam al-Maudhu’at: 3/269 Beliau berkata, “Telah diceritakan kepadaku dari Syirowaih bin Syahroyar, telah memberitahukan kepadaku Abul Hasan bin Bukair, telah memberitahukan kepadaku Abdurrahman bin Muhammad an-Naisaburi, telah memberitahukan kepadaku Abdul Karim bin Abul Qosim bin Balawaih, telah menceritakan kepadaku Ibrahim bin Muhammad, telah menceritakan kepadaku Ahmad bin Muhammad bin Isa, telah menceritakan kepadaku Abu Hudzaifah dari Syibl dari Mujahid dari Ibnu Abbas.

Derajat Kisah

Kisah ini PALSU. Diriwayatkan dari tiga jalan, namun semuanya tidak bisa menyelamatkannya dari derajat kepalsuan, minimalnya sangat lemah. Hal ini bisa di tinjau dari dua sisi:

Pertama: Sisi Sanad

Kisah ini dalam sanadnya terdapat orang-orang yang tidak dikenal dan munkar. Imam Ibnul Jauzi rahimahullah berkata, “Ini adalah hadits palsu, pada sanadnya terdapat orang-orang yang tidak dikenal. Imam ad-Daruquthni rahimahullah berkata, “Hadits Mujahid dari Ibnu Abbas tentang hukuman bagi Abu Syahmah tidak shohih.” [al-Maudhu’at: 3/274]

Tentang sanad lainnya yang diriwayatkan dari jalan Sa’id bin Masruq dari Umar, Imam Ibnul Jauzi rahimahullah berkata, “Ini adalah hadits palsu, dibuat-buat oleh para tukang cerita.” [al-Maudhu’at: 3/269]

Sanad ketiga hadits ini dari jalan Shofwan dari Umar. Dikatakan oleh Imam Ibnul Jauzi rahimahullah, “Shofwan perowi kisah ini dari Umar, antara dia dengan Umar terdapat banyak rowi. Yang tertuduh memalsukan hadits ini adalah orang-orang yang berada di awal sanad. Tidak terlalu penting bagi kita untuk menyebutkan kecacatan para perowinya, karena seandainya pun mereka tsiqoh, namun dengan jalur kisah ini dapat diketahui bahwa kisah ini dihembuskan oleh orang-orang yang tidak bertanggung jawab, karena banyak hal-hal yang tidak mungkin dilakukan oleh para Sahabat.”

Kedua: Sisi Matan

Sedangkan kalau ditinjau dari sisi matan kisah ini, maka akan kita temukan banyak kejanggalan yang memperkuat kepalsuan kisah ini. Namun perlu diketahui bahwa kisah yang diuraikan di atas merupakan ringkasan, adapun kisah selengkapnya sangat panjang. Diceritakan dalah kisah itu bagaimana Umar radhiyallahu ‘anhu bersumpah pada anaknya agar mengaku. Dalam setiap cambukan Abu Syahmah selalu berucap selalu berucap sesuatu dan dijawab Umar radhiyallahu ‘anhu. Para Sahabat minta agar tidak disempurnakan hukuman. Ibunda Abu Syahmah minta agar tidak dilanjutkan dan sebagai tebusannya dia akan berhaji untuk setiap kali cambukan. Ini semua menunjukkan kepalsuannya, karena bagi yang sedikit mencium hukum syar’i tidak akan mengatakan hal seperti itu. Lalu bagaimana dengan para Sahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam?”

Karenanya Imam Ibnul Jauzi rahimahullah berkata, “Ini adalah hadits palsu, bagaimana periwayatannya dan dari jalur mana? Kisah ini dipalsukan oleh para tukang cerita untuk membuat orang-orang awam dan para wanita menangis. Mereka (para pemalsunya) benar-benar keterlaluan dalam membuatnya, mereka menyandarkan kepada Umar dan para sahabat sesuatu yang tidak pantas mereka lakukan. Kata-kata dalam kisah ini jelek, hal ini menunjukkan akan kepalsuannya serta jauhnya dari hukum-hukum syar’i. Juga menunjukkan bahwa pemalsunya sama sekali tidak faham terhadap hukum syar’i. Pemalsunya terlalu tergesa-gesa saat menuduh anak Umar minum khomr pada acara sembelihan Yahudi, lalu menisbatkan kepada Umar bahwa beliau bersumpah agar anaknya mengaku.

Bagaimana mungkin Umar bersumpah atas nama Allah azza wa jalla saat bertanya kepada anaknya, “Apakah engkau berzina?” ini tidak layak dilakukan oleh Umar. Dan alangkah jeleknya apa yang mereka buat-buat berupa ucapan Abu Syahmah dalam setiap cambukan. Ini semua semakin menunjukkan pemalsunya orang bodoh. Dikisahkan bahwa Abu Syahmah meminta air, lalu Umar radhiyallahu ‘anhu tidak memberinya, ini sangat jelek. Para Sahabat minta agar hukumannya ditunda atau tidak disempurnakan serta ibu Abu Syahmah akan berhaji sebagai tebusan setiap kali cambukan. Ini semua sesuatu yang tidak mungkin dilakukan oleh para Sahabat.” [al-Maudhu’at: 3/274]

Komentar Para Ulama

Disebabkan beberapa hal di atas, maka para ulama pakar hadits menganggap bahwa hadits ini palsu. Di antara mereka yaitu:

  1. Imam Ibnu ‘Aroq rahimahullah dalam Tahzihusy Syar`iah: 2/220. Beliau berkata, “Kisah ini dibuat-buat oleh para tukang cerita.”
  2. Al-Hafizh Ibnu Hajar rahimahullah dalam al-Ishobah: 7/210/10112. Beliau berkata, “Abu Syahmah putra Umar bin Khaththab, disebutkan dalam sebuah kisah yang sangat lemah bahwa dia dihukum cambuk sampai mati oleh bapaknya sendiri karena berzina.”
  3. Imam asy-Syaukani rahimahullah dalam al-Fawa’id al Majmu’ah hal.203 berkata, “Hadits tentang Umar mencambuk putranya yang bernama Abu Syahmah, ini hadits palsu.”
  4. Imam Ibnu Jauzi rahimahullah sebagaimana keterangan di atas.

Wallahu a’lam.

(Disarikan dari Tahdzorud Da’iyah minal Qoshosh al Wahiyah oleh Syaikh Ali bin Ibrahim al-Hasyisy hal.443-450)

sumber: diketik ulang dari Majalah al-Furqon Edisi 4 Tahun kesembilan, Dzulqo’dah 1430/ Okt-Nov 2009, Hal.59-61

Dipublikasikan kembali oleh : https://alqiyamah.wordpress.com

Download File: Benarkah Kisah Umar radhiyallahu ‘anhu Telah Menghukum Cambuk Anaknya Hingga Wafat.doc

Posted on Januari 15, 2010, in Kisah Tidak Nyata and tagged , . Bookmark the permalink. 1 Komentar.

  1. Iqbal Ibrahim eL-Stiba

    Syukran

Tinggalkan Balasan

Isikan data di bawah atau klik salah satu ikon untuk log in:

Logo WordPress.com

You are commenting using your WordPress.com account. Logout /  Ubah )

Foto Facebook

You are commenting using your Facebook account. Logout /  Ubah )

Connecting to %s

%d blogger menyukai ini: