Mengaku Keturunan Rasul…

Dikalangan kaum muslimin, khususnya di negeri kita ini sering kita mendengar bahwa ada seorang tokoh yang merupakan keturunan Nabi. Dan dipanggil lah tokoh tersebut dengan sebutan Habib. Bahkan gelar ini mereka buktikan dengan skema nasab yang mereka miliki yang bertemu dengan nasab Nabi shallallahu’alaihi wa sallam, atau dibuktikan dengan semacam ijazah atau sertifikat. Ironisnya, gelar nasab ini seolah-olah menjadi kartu truf yang akhirnya menjadi dalil halalnya segala perbuatan yang mereka lakukan, baik perbuatan yang telah jelas merupakan kemaksiatan, perbuatan bid’ah dalam agama, bahkan sampai kesyirikan. Lalu bagaimanakah sebenarnya sikap Ahlussunnah terhadap tokoh keturunan Nabi atau yang disebut dengan golongan Ahlul Bait ? Berikut ini pembahasannya oleh Syaikh Abdul Muhsin bin Hamd al-‘Abbad al-Badr hafizhahullah.[1] 

AKIDAH AHLUSSUNNAH WAL JAMAAH TERHADAP AHLUL BAIT SECARA GLOBAL

Akidah Ahlussunnah wal Jamaah adalah pertengahan antara ekstrim kanan dan ekstrim kiri, antara berlebihan dan meremehkan dalam segala perkara akidah. Diantaranya adalah akidah mereka terhadap ahlu bait Nabi shallallahu’alaihi wa sallam, mereka berloyalitas terhadap setiap muslim dan muslimah dari keturunan Abdul Muththalib, dan juga kepada para istri Rasul shallallahu’alaihi wa sallam semuanya. Ahlus Sunnah mencintai mereka semua, memuji dan memposisikan mereka sesuai dengan kedudukan mereka secara adil dan objektif, bukan dengan hawa nafsu atau serampangan. Mereka mengakui keutamaan orang-orang yang telah Allah beri kemulian iman dan kemuliaan nasab. Barangsiapa yang termasuk dari ahlul bait dari kalangan sahabat Rasulullah, maka mereka (Ahlussunnah) mencintainya karena keimanan, ketaqwaan serta persahabatannya dengan Rasul shallallahu’alaihi wa sallam.

Adapun mereka (ahlul bait) selain dari kalangan sahabat, maka mereka mencintainya karena keimanan. Ketaqwaan, dan karena kekerabatannya dengan Rasul shallallahu’alaihi wa sallam. Mereka berpendapat bahwa kemuliaan nasab itu mengikut kepada kemuliaan iman. Barangsiapa yang diberi oleh Allah kedua hal tersebut, maka Dia telah menggabungkan antara dua kebaikan. Dan barangsiapa yang tidak diberi taufik untuk beriman, maka tidak bermanfaat sedikitpun kemuliaan nasabnya. Allah ta’ala berfirman:

إِنَّ أَكْرَمَكُمْ عِندَ اللهِ أَتْقَاكُمْ

“Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling takwa diantara kamu”. (QS. Al-Hujurat: 13)

Nabi shallallahu’alaihi wa sallam bersabda dalam akhir hadits yang panjang yang diriwayatkan oleh Muslim dalam Shahihnya, No. 2699 dari Abu Hurairoh radliyallahu’anhu:

و من بطأ به عمله لم يسرع به نسبه

“Barangsiapa yang diperlambat oleh amal perbuatannya maka nasabnya tidak bisa mempercepatnya”

Al Hafizh Ibnu Rajab rahimahullah berkata seraya menjelaskan hadits di atas dalam kitab beliau Jami’ al ‘Ulum wa al-Hikam, hlm. 308: Maknanya, bahwa amal perbuatan itulah yang menjadikan seorang hamba sampai kepada derajat (yang tinggi) di akhirat, sebagaimana firman Allah:

وَلِكُلٍّ دَرَجَاتٌ مِّمَّا عَمِلُوا وَمَارَبُّكَ بِغَافِلٍ عَمَّا يَعْمَلُونَ

“Dan masing-masing orang memperoleh derajat-derajat (seimbang) dengan apa yang dikerjakannya” (QS. Al-An’am: 132)

Barangsiapa yang lambat amal ibadahnya untuk sampai kepada kedudukan yang tinggi disisi Allah, maka nasabnya tidak bisa mempercepatnya, untuk menyampaikannya kepada derajat tersebut. Sesungguhnya Allah menyediakan pahala sesuai dengan amal perbuatan bukan karena nasab, sebagaimana firman Allah:

فَإِذَا نُفِخَ فِي الصُّورِ فَلآ أَنسَابَ بَيْنَهُمْ يَوْمَئِذٍ وَلاَيَتَسَآءَلُونَ

“Apabila sangkakala ditiup maka tidaklah ada lagi pertalian nasab antara  mereka pada hari itu, dan tidak ada pula mereka saling bertanya”. (QS. Al-Mukminun: 101)

Dan Allah ta’ala telah memerintahkan untuk bersegera menuju ampunan dan rahmat-Nya dengan berbuat amal ibadah, sebagaimana firman-Nya:

}* وَسَارِعُوا إِلَى مَغْفِرَةٍ مِّن رَّبِّكُمْ وَجَنَّةٍ عَرْضُهَا السَّمَاوَاتُ وَاْلأَرْضُ أُعِدَّتْ لِلْمُتَّقِينَ { 133} الَّذِينَ يُنفِقُونَ فِي السَّرَّآءِ وَالضَّرَّآءِ وَالْكَاظِمِينَ الْغَيْظَ وَالْعَافِينَ عَنِ النَّاسِ وَاللهُ يُحِبُّ الْمُحْسِنِينَ {134}

“Dan bersegeralah kamu kepada ampunan dari Tuhan-mu dan kepada surga yang luasnya seluas langit dan bumi yang disediakan untuk orang-orang yang bertakwa, (yaitu) orang-orang yang menafkahkan (hartanya), baik di waktu lapang maupun sempit, dan orang-orang yang menahan amarahnya dan mema’afkan (kesalahan) orang. Allah menyukai orang-orang yang berbuat kebajikan”. (QS. Ali ‘Imron: 133-134)

Dan firman-Nya:

إِنَّ الَّذِينَ هُم مِّنْ خَشْيَةِ رَبِّهِم مُّشْفِقُونَ {57} وَالَّذِينَ هُم بِئَايَاتِ رَبِّهِمْ يُؤْمِنُونَ {58} وَالَّذِينَ هُم بِرَبِّهِمْ لاَيُشْرِكُونَ {59} وَالَّذِينَ يُؤْتُونَ مَآءَاتَوْا وَقُلُوبُهُمْ وَجِلَةٌ أَنَّهُمْ إِلَى رَبِّهِمْ رَاجِعُونَ {60} أُوْلَئِكَ يُسَارِعُونَ فِي الْخَيْرَاتِ وَهُمْ لَهَا سَابِقُونَ {61}

“Sesungguhnya orang-orang yang berhati-hati karena takut akan (azab) Tuhan mereka, Dan orang-orang yang beriman dengan ayat-ayat Tuhan mereka, Dan orang-orang yang tidak mempersekutukan dengan Tuhan mereka (sesuatu apapun), Dan orang-orang yang memberikan apa yang telah mereka berikan, dengan hati yang takut, (karena mereka tahu bahwa) sesungguhnya mereka akan kembali kepada Tuhan mereka, mereka itu bersegera untuk mendapat kebaikan-kebaikan, dan merekalah orang-orang yang segera memperolehnya.” (QS. Al-Mukminun: 57-61)

Kemudian beliau (Imam Ibnu Rajab rahimahullah) menyebutkan dalil-dalil tentang anjuran untuk beramal shalih, dan bahwasanya hubungan dekat dengan Rasul shallallahu’alaihi wa sallam itu diperoleh dengan ketakwaan dan amal shalih. Lalu beliau menutup pembahasan tersebut dengan hadits ‘Amr bin al-‘Ash radliyallahu’ahu yang tercantum dalam Shahih Bukhori, No. 5990 dan Shahih Muslim, No. 215, beliau berkata: Yang menguatkan hal ini semua adalah apa yang tercantum dalam Shahih Bukhori dan Muslim dari ‘Amr bin al-‘Ash radliyallahu’anhu, bahwasanya dia mendengar Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam bersabda:

“Sesungguhnya keluarga Abu Fulan bukan termasuk wali-wali (orang terdekat) ku. Sesungguhnya waliku adalah Allah dan orang-orang yang shalih dari orang-orang yang beriman”.

Ini mengisyaratkan bahwa kedekatan dengan Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam tidak bisa diraih dengan nasab, meskipun dia adalah kerabat beliau. Akan tetapi, semuanya itu diraih dengan iman dan amal shalih[2]. Barangsiapa yang lebih sempurna keimanannya dan amal shalihnya, maka dia lebih agung kedekatannya dengan beliau, baik dia punya kekerabatan dengan beliau atau tidak. Hal ini senada dengan apa yang diucapkan oleh seorang penyair:

Sungguh, tidaklah manusia itu (dimuliakan) melainkan dengan agamanya

Maka janganlah engkau meninggalkan ketakwaan, dan hanya bersandar kepada nasab

Sungguh, Islam telah mengangkat derajat Salman (al-Farisi) dari Persia

Dan kesyirikan menghinakan Abu Lahab yang memiliki nasab (yang tinggi).

Hal ini berlainan dengan ahli bid’ah, mereka berlebihan terhadap sebagian ahlul bait. Bersmaaan itu pula mereka berbuat kasar/jahat terhadap mayoritas para sahabat radliyallahu’anhum. Diantara contoh sikap berlebihan mereka terhadap 12 imam ahlul bait, yakni Ali, Hasan, Husain radliyallahu’anhum, dan 9 keturunan Husain adalah apa yang tercantum dalam kitab al-Kafi oleh al-Kulaini [3]…Bab: Bahwasanya Para Imam Tersebut Mengetahui Kapan Mereka Akan Mati dan Tidaklah Mereka Mati Melainkan Dengan Pilihan Mereka Sendiri, Bab: Bahwasanya Imam-Imam ‘alaihimussalam Mengetahui Apa Yang Telah Terjadi dan Apa yang Akan Terjadi, dan Tidak Ada Sesuatupun yang Tersembunyi Bagi Mereka.

Dan sikap berlebihan inipun dikatakan oleh tokoh kontemporer mereka, yaitu Khumaini dalam kitabnya al-Hukumah al-Islamiyah (hlm. 52 cetakan al-Maktabah al-Islamiyah al-Kubra, Teheran): Sesungguhnya diantara prinsip madzhab kita, bahwasanya imam-imam kita memiliki kedudukan yang tidak bisa digapai oleh malaikat yang dekat (dengan Allah) maupun Nabi yang diutus (oleh Allah).

HARAMNYA MENGAKU-NGAKU SEBAGAI KETURUNAN AHLUL BAIT

Semulia-mulia nasab adalah nasab Nabi Muhammad shallallahu’alaihi wa sallam. Dan semulia-mulia penisbatan adalah kepada beliau shallallahu’alaihi wa sallam dan kepada Ahli Bait, jika penisbatan itu benar. Dan telah banyak di kalangan arab maupun non arab penisbatan kepada nasab ini. Maka barangsiapa yang termasuk ahlul bait dan dia adalah orang yang beriman, maka Allah telah menggabungkan antara kemuliaan iman dan nasab. Barangsiapa mengaku-ngaku termasuk dari nasab yang mulia ini, sedangkan ia bukan darinya, maka dia telah berbuat suatu yang diharamkan, dan dia telah mengaku-ngaku memiliki sesuatu yang bukan miliknya. Nabi shallallahu’alaihi wa sallam bersabda:

“Orang yang mengaku-ngaku dengan sesuatu yang tidak dia miliki maka dia seperti pemakai dua pakaian kebohongan.” (HR. Muslim dalam Shahihnya, no. 2129 dari Hadits Aisyah radliyallahu’anha)

Disebutkan dalam hadits-hadits shahih tentang keharaman seseorang menisbatkan dirinya kepada selain nasabnya. Diantara hadits Abu Dzar radliyallahu’anhu, bahwasanya ia mendengar Nabi shallallahu’alaihi wa sallam bersabda:

“Tidaklah seseorang menisbatkan kepada selain ayahnya sedang dia mengetahui melainkan dia telah kufur kepada Allah. Dan barangsiapa yang mengaku-ngaku sebagai suatu kaum dan dia tidak ada hubungan nasab dengan mereka, maka hendaklah dia menyiapkan tempat duduknya di neraka”.[4] (HR. al-Bukhori, No. 3508 dan Muslim, No. 112)

Dan dalam Shahih al-Bukhori, No. 3509 dari hadits Watsilah bin al-Asqa’zia berkata: Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam bersabda:

“Seungguhnya sebesar-besar kedustaan adalah penisbatan diri seseorang kepada selain ayahnya atau mengaku bermimpi sesuatu yang tidak dia lihat, atau dia berkata atas nama Rasulullah apa yang tidak beliau katakan”.[5]


[1] Diterjemahkan dan disarikan dari kitab Fadhl Ahli al-Bait wa ‘Uluww Makaanatihim ‘Inda Ahli as-Sunnah wa al-Jamaah oleh Abdurrahman bin Thayyib as-Salafi. Sumber: Majalah Adz-Dzakiroh Vol. 8 No. 1 Edisi 43 Ramadhan-Syawal 1429 H. Kami hanya mengambil dua poin pembahasan dari tiga yang dibahas di sumber tersebut.

[2] Jadi, mereka yang mengaku sebagai keturunan Rasul shallallahu’alaihi wa sallam tapi gemar berbuat kesyirikan, mengkultuskan kuburan-kuburan wali yang tekah mati, mengadukan shalawat-shalawat bid’ah plus syirik (Burdah, Nariyah, Diba’, dll), rajin berbuat bid’ah (perayaan maulid, haul, tahlilan), maka tidak bermanfaat pengakuan tersebut dan tidak perlu dihormati ataupun disegani, pen.

[3] Tokoh ulama Syi’ah yang binasa pada tahun 329 H, yang dianggap seperti imam Bukhorinya Ahlussunnah, pen.

[4] Maka berhati-hatilah mereka yang memakan harta kaum muslimin dengan cara batil dengan mengaku-ngaku sebagai keturunan rasul shallallahu’alaihi wa sallam dan menjual akidah serta agama mereka. Na’udzubillahi mindzalik. pen

[5] Diringkaskan dari halaman 84-95

Sumber: http://maramissetiawan.wordpress.com

Posted on April 13, 2010, in Aqidah & Manhaj and tagged , . Bookmark the permalink. 5 Komentar.

  1. oooo…gitu ya mas…..nice post….

  2. yang ga suka maulid gak usah bidah2 in

  3. Ahlul Bid'ah Wal Harakah

    Rasulullah Shalallahu’alaihi wasallam telah membawakan risalah ini dengan sempurna. lalu mengapa masih banyak kaum muslimin yang durhaka kpd Allah dan Rasul-Nya dg mengarang dan menciptakan ibadah2 baru yg tdk pernah dicontohkan dan dilakukan oleh Rasulullah maupun para Sahabatnya? bahkan mereka berani berpegang teguh pd dalil lemah dan palsu sbg hujjahnya. Na’udzubillah min dzaliik….

  4. Apa yg diuraikan tulisan di atas, mengingatkan saya pada sejarah kaum Yahudi dengan kaum Nasrani, dimana kedua kelompok ini, saling klaim tentang keberadaan Nabi Ibrahim As. Kaum Yahudi mengklaim, bahwa Nabi Ibrahim As. itu adalah termasuk ke dalam golongan Yahudi, lalu yang kaum Nasraninya juga mengklaim bahwa Nabi Ibrahim itu adalah golongannya, kaum Nasrani.

    Dengan adanya perseteruan kedua belah pihak tersebut, maka datanglah Al Quran, lalu Allah SWT berfirman: “Ibrahim bukan Yahudi dan bukan (pula) Nasrani,………(QS. 3:67)

    Begitu juga halnya dengan masalah keberadaan ‘ahlul bait’, disatu pihak ada kaum yang mengklaim bahwa merekalah yang satu-satunya berhak ‘mewarisi’ mahkota atau tahta keturunan ‘ahlul bait’. Ee pihak kaum yang satunya juga tak mau kalah bahwa merekalah yang pihak pewaris tahta keturunan ‘ahlul bait’. Dalil kedua pihak ini, sama-sama merujuk pada peran dan keberadaan dari Bunda Fatimah, anak Saidina Muhammad SAW bin Abdullah, sebagai ‘ahlul bait’ yang sesungguhnya dan sering dianggap oleh sebagian besar umat Muslim sebagai pewaris ‘keturunan nabi atau rasul’.

    Jika kita merujuk pada Al Quran, yakni S. 11:73, 28:12 dan 33:33 maka Bunda Fatimah ini tinggal ‘satu-satu’-nya dari beberapa saudara kandungnya. Benar, jika beliau inilah, salah satu pewaris dari tahta ahlul bait. Sementara saudara kandungnya yang lainnya, tidak ada yang hidup dan berkeluarga yang berumur panjang.

    Begitu juga, terhadap saudara kandung Saidina Muhammad SAW juga berhak sebagai ‘ahlul bait’, tapi sayang saudara kandungnya juga tidak ada karena beliau adalah ‘anak tunggal’. Apalagi kedua orangtua Saidina Muhammad SAW, yang juga berhak sebagai ‘ahlul bait’, tetapi sayangnya kedua orangtuanya ini tak ada yang hidup sampai pada pengangkatan Saidina Muhammad SAW bin Abdullah sebagai nabi dan rasul Allah SWT.

    Kembali ke masalah Bunda Fatimah, karena tinggal satu-satunya sebagai pewaris tahta ‘ahlul bait’, maka timbullah masalah baru, bagaimana pula status dari anak-anak dari Bunda Fatimah yang bersuamikan Saidina Ali bin Abi Thalib, keponakan dari Saidina Muhammad SAW, apakah anak-anaknya juga berhak sebagai ‘pewaris’ tahta ahlul bait?.

    Dengan meruju pada ketiga ayat di atas, maka karena Bunda Fatimah adalah berstatus sebagai ‘anak perempuan’ dari Saidina Muhammad SAW, dan dilihat dari sistim jalur nasab dengan dalil QS. 33:4-5, maka perempuan tidak mempunyai kewenangan untuk menurunkan nasabnya. Kewenangan menurunkan nasab tetap saja pada kaum ‘laki-laki’, kecuali terhadap Nabi Isa As. yang bernasab pada bundanya, Maryam.

    Dari uraian tersebut di atas, maka dapat kita simpulkan bahwa menurut konsep Al Quran, bahwa kita tidak mengenal sistim pewaris nasab dari pihak perempuan, artinya sistim nasab tetap dari jalur laki-laki. Otomatis Bunda Fatimah walaupun beliau adalah ‘ahlul bait’, tidak bisa menurunkan nasabnya pada anak-anaknya dengan Saidina Ali bin Abi Thalib. Anak-anak dari Bunda Fatimah dengan Saidina Ali, ya tetap saja bernasab pada nasab Saidina Ali saja.

    Kesimpulan akhir, bahwa tidak ada pewaris tahta atau mahkota dari AHLUL BAIT, mahkota ini hanya sampai pada Bunda Fatimah anak kandung dari Saidina Muhammad SAW. Karena itu, kepada para pihak yang memperebutkan mahkota ahlul bait ini kembali menyelesaikan perselisihan fahamnya. Inilah mukjizat dari Allah SWT kepada Nabi-Nya, Muhammad SAW, sehingga tidak ada pihak hamba-Nya, manusia yang mempunyai status istimewa dihadapan Allah SWT, selain hamba pilihan-Nya, nabi, rasul dan hamba-Nya yang takwa, muttaqin.

    semoga Allah SWT mengampuni saya.

    • Barakallahu fiik..
      afwan akh, tentang perkataan antum bahwa hanya fatimah radhiyallahu ‘anha yang merupakan satu2nya ahlul bait adalah keliru..karena para istri Rasul juga termasuk dalam kategori ahlul bait. (berdasarkan konteks surat Al-Ahzab:33 / penjelasan ttg ayat tsb silahkan antum buka http://www.gensyiah.com/siapakah-ahlul-bait-itu.html )

      Selain itu, dalam sebuah riwayat dari Zaid bin Arqam bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam bersabda:
      “Aku tinggalkan dua perkara yang berat (besar) yang pertama adalah kitabullah, padanya terdapat petunjuk dan cahaya. Maka ambillah kitabullah itu dan berpegang teguhlah dengannya… dan (yang kedua adalah) Ahlul Baitku. Aku ingatkan kalian kepada Allah tentang Ahlul Baitku.” Husain (perawi hadits) bertanya kepada Zaid: “Siapakah Ahlul Bait beliau wahai Zaid? Bukankah istri-istri beliau termasuk Ahlul Bait beliau?” Zaid menjawab: “Istri-istri beliau memang termasuk Ahlul Bait beliau tetapi yang dimaksud dengan Ahlul Bait disini adalah orang yang diharamkan shadaqah setelah wafat beliau. Hushain kembali bertanya: “Lalu siapa mereka?” Zaid menjawab: “Mereka adalah Keluarga ‘Ali, keluarga ‘Aqil keluarga Ja’far dan keluarga ‘Abbas …” (Muslim 2408. Lihat Riyadhus Shalihin no.346 dan Ad-Durrul Mantsur 6/605)

      Disebutkan oleh Ats-Tsa’labi dan Qadli ‘Ayyadl bahwa mereka adalah Bani Hasyim secara keseluruhan, sehingga termasuk pula didalamnya Al-Harits bin Abdul Muthalib dan Keturunannya dan Hamzah bin Abdul Muthalib beserta anak keturunannya.

      1. Keluarga ‘Ali adalah ‘Ali sendiri, Fathimah, Hasan dan Husein beserta anak turunnya.
      2. Keluarga ‘Aqil adalah ‘Aqil sendiri dan anaknya yaitu Muslim bin ‘Aqil beserta anak cucunya.
      3. Keluarga Ja’far bin Abu Thalib yaitu Ja’far sendiri berikut anak-anaknya yaitu Abdullah, Aus dan Muhammad.
      4. Keluarga ‘Abbas bin Abdul Muthalib yaitu ‘Abbas sendiri dan sepuluh puteranya yaitu: Al-Fadlel, Abdullah, Qutsam, Al-Harits, Ma’bad, Abdurrahman, Ubaidillah, Katsir, ‘Aus dan Tamam dan puteri-puteri beliau juga termasuk di dalamnya.
      5. Keluarga Hamzah bin Abdul Muthalib yaitu Hamzah sendiri dan tiga orang anaknya yaitu Ya’la, ‘Imarah dan Umamah. (Fathul Bari 7/98)

      dan kesimpulan antum tentang tdk adanya “pewaris tahta” dari ahlul bait..

      Bukankah berdasarkan beberapa hadits sabda Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam bahwa Al-Mahdi yg akan muncul di akhir zaman adalah merupakan keturunan beliau? Hal itu membuktikan bahwa keturunan Muhammad Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam tetap ada sampai sekarang bahkan sampai akhir zaman nanti.

      Berikut ini adalah hadits2 yg menyebutkan bahwa AL-Mahdi adalah keturunan Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam :

      Dari Abu Sa’id Al-Khudri Radhiyallahu ‘anhu, ia berkata: Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Al-Mahdi itu dari KETURUNANKU, lebar dahinya dan mancung hidungnya. la memenuhi bumi dengan kejujuran dan keadilan sebagaimana sebelumnya bumi dipenuhi dengan kezhaliman dan penganiayaan. la berkuasa selama tujuh tahun.” [Sunan Abu Daud, Kitab Al-Mahdi 11: 375 hadits nomor 4265. Mustadrak Al-Hakim 4: 557]

      Dari Ummu Salamah Radhiyallahu ‘anha, ia berkata : saya mendengar Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda : “Al -Mahdi itu KETURUNANKU, dari anak cucu Fatimah.” [Sunan Abi Daud : 373; Sunan Ibnu Majah 2: 1368. Al-Albani berkata dalam Shahih Al-Jami’ush Shaghir 6: 22 nomor 6610. “Shahih.”]

      Aqidah yang sangat penting tentang ahlul bait ini bisa antum baca di :
      http://www.gensyiah.com/aqidah-ahlus-sunnah-tentang-ahlul-bait.html
      http://www.gensyiah.com/aqidah-ahlus-sunnah-tentang-ahlul-baitbag2.html

      Wallahu a’lam bish showab..

Tinggalkan Balasan

Isikan data di bawah atau klik salah satu ikon untuk log in:

Logo WordPress.com

You are commenting using your WordPress.com account. Logout /  Ubah )

Foto Facebook

You are commenting using your Facebook account. Logout /  Ubah )

Connecting to %s

%d blogger menyukai ini: