Puasa Hari Arafah – Ustadz Hammad Abu Mu’awiyah

Puasa arafah termasuk dari puasa-puasa sunnah dalam Islam yang mempunyai keutamaan yang besar. Dari Abu Qatadah Al-Anshari -radhiallahu anhu- dia berkata:

وَسُئِلَ عَنْ صَوْمِ يَوْمِ عَرَفَةَ , فَقَالَ: يُكَفِّرُ السَّنَةَ الْمَاضِيَةَ وَالْبَاقِيَةَ

“Dan beliau -alaihishshalatu wassalam- ditanya tentang puasa pada hari arafah, maka beliau menjawab, “Dia menghapuskan (dosa) setahun yang lalu dan setahun yang akan datang.” (HR. Muslim no. 1162)

Hadits ini jelas menunjukkan disunnahkannya berpuasa pada hari arafah, yaitu pada tanggal 9 zulhijjah. Sampai-sampai Asy-Syaikh Abdullah Al-Bassam berkata dalam Taudhih Al-Ahkam (3/210), “Puasa hari arafah adalah puasa sunnah yang paling utama berdasarkan ijma’ para ulama.”

Imam Ash-Shan’ani berkata dalam As-Subul, “Sebagian ulama ada yang mempertanyakan maksud dari dihapuskannya dosa yang belum terjadi, yaitu dosa yang akan terjadi di tahun yang akan datang. Dan hal ini dijawab bahwa yang dimaksudkan di sini adalah orang tersebut akan diberikan taufik untuk setahun yang akan datang agar dia tidak mengerjakan dosa, akan tetapi taufik ini dinamakan sebagai penghapusan dosa untuk menyesuaikannya dengan keutamaan setahun sebelumnya (berupa penghapusan dosa). Ataukah yang dimaksudkan di sini adalah jika dia terjatuh ke dalam dosa pada tahun yang akan datang, maka dia akan diberikan taufik oleh Allah untuk mengamalkan amalan yang bisa menghapuskan dosa tersebut.” Lihat Subul As-Salam (2/339) cet. Daar Al-Kutub Al-Arabi.

Hukum Puasa Arafah Bagi yang Berada di Arafah (Sedang Haji).

Ada tiga pendapat dalam permasalahan ini:

1.    Diharamkan.
Ini adalah pendapat Yahya bin Said Al-Anshari dan ini yang dikuatkan oleh Ash-Shan’ani.
Mereka berdalil dengan hadits Abu Hurairah -radhiallahu anhu- dia berkata, “Nabi -alaihishshalatu wassalam- melarang melakukan puasa arafah di arafah.” (HR. Ahmad, Abu Daud, An-Nasai, dan Ibnu Majah)
Akan tetapi hadits ini lemah karena berasal dari jalan Mahdi Al-Abdi Al-Hajari dari Ikrimah dari Abu Hurairah, sementara Mahdi Al-Hajari ini adalah rawi yang majhul hal. Al-Uqaili berkata, “Tidak ada yang mendukung riwayatnya. Telah diriwayatkan dari beliau -alaihishshalatu wassalam- dengan sanad-sanad yang baik bahwa beliau tidak melakukan puasa arafah di arafah, akan tetapi tidak shahih dari beliau adanya larangan untuk puasa arafah di arafah.”

2.    Disunnahkan untuk berbuka di arafah.
Ini adalah pendapat mayoritas ulama. Mereka berdalil dengan hadits Maimunah bintu Al-Harits dan Ummu Al-Fadhl bintu Al-Harits yang keduanya diriwayatkan oleh Al-Bukhari (no. 1575, 1887, 1888) dan Muslim (no. 1123) bahwa Nabi -alaihishshalatu wassalam- meminum susu pada hari arafah.

3.    Disunnahkan berpuasa di arafah.
Ibnu Az-Zubair, Usamah bin Zaid, dan Aisyah -radhiallahu anhum- berpuasa arafah di arafah. Hal itu membuat kagum Al-Hasan dan dia membawakan pendapat ini juga dari Utsman. Ibnu Al-Mundzir menukil pendapat ini dari Ishak bin Rahawaih, dan merupakan pendapat lama dari Asy-Syafi’i. Al-Khaththabi juga membawakan pendapat ini dari Ahmad dan ini pendapat yang dipilih oleh Al-Ajurri. Hanya saja sebagian di antara ulama di atas ada yang memberikan batasan sunnahnya jika puasa itu tidak membuat badannya lemah untuk melakukan wuquf dan berdoa di arafah.

Mereka berdalil dengan keumuman hadits, “Dia menghapuskan (dosa) setahun yang lalu dan setahun yang akan datang.”
Adapun hadits Maimunah dan Ummu Al-Fadhl, maka Al-Hafizh Ibnu Hajar -rahimahullah- berkata, “Kedua hadits ini dijadikan dalil akan disunnahkannya berbuka (tidak puasa) pada hari arafah di arafah. Hanya saja pendalilan ini kurang tepat, karena perbuatan beliau -alaihishshalatu wassalam- semata tidaklah menafikan disunnahkannya berbuka pada hari itu. Karena terkadang beliau meninggalkan sesuatu yang disunnahkan hanya untuk menunjukkan bolehnya, sehingga dalam keadaan itu lebih utama bagi beliau untuk tidak berpuasa karena adanya maslahat dakwah.” Lihat Fath Al-Bari (4/238)

Tarjih:
Yang kuat -wallahu a’lam- adalah pendapat yang dikuatkan oleh Al-Hafizh Ibnu Hajar yaitu pendapat yang ketiga berdasarkan argumen yang beliau sebutkan. Apalagi konteks hadits Maimunah dan Ummu Al-Fadhl menyebutkan bahwa para sahabat berbeda pendapat mengenai apakah Nabi -alaihishshalatu wassalam- berpuasa arafah di arafah ataukah tidak -dan ketika itu beliau tengah berada di arafah-, maka kedua shahabiah ini mengirimkan susu kepada Nabi -alaihishshalatu wassalam- lalu beliau minum sementara beliau berdiri di arafah -dalam sebagian riwayat: di atas tunggangannya- sementara para sahabat melihat beliau minum. Maka yang nampak dari sini adalah beliau minum hanya untuk menunjukkan beliau tidak mewajibkan berpuasa pada hari itu.

Hanya saja hukum sunnah ini tentu saja berlaku jika puasa itu tidak membuat badannya lemah untuk melakukan wuquf dan berdoa di arafah -sebagaimana yang dikatakan oleh sebagian ulama-. Jika puasa tersebut membuatnya lemah sehingga tidak bisa maksimal untuk beribadah di arafah maka lebih afdhal baginya untuk berbuka dan tidak berpuasa. Wallahu a’lam bishshawab.
[Lihat: Al-Majmu’ (6/349-350), Al-Inshaf (3/310), dan Al-Muhalla masalah. 793]

[Rujukan utama: Ithaf Al-Anam bi Ahkam wa Masail Ash-Shiyam hal. 158-160]

Sumber: http://al-atsariyyah.com

Posted on November 14, 2010, in Haji ; Ied Adha, Puasa and tagged , , , , . Bookmark the permalink. 2 Komentar.

Tinggalkan Balasan ke yassir Batalkan balasan