Fatawa Ulama Ahlus Sunnah Tentang Hukum Nyanyian Sufi & Nasyid Islami
Sebagaimana kita tidak boleh beribadah melainkan hanya kepada Allah ‘azza wa jalla demi merealisasikan syahadat LA ILAHA ILLALLAH, demikian juga kita tidak boleh beribadah kepada Allah atau mendekatkan diri kepada-Nya, melainkan hanya dengan cara yang diajarkan oleh Rasul-Nya demi merealisasikan syahadat MUHAMMADUR RASULULLAH. Bila dua hal itu direalisasikan oleh seorang Mukmin, berarti ia telah mencintai Allah ‘azza wa jalla dan mengikuti Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Orang yang mencintai Allah ‘azza wa jalla , maka Allah ‘azza wa jalla akan selalu bersamanya dan Allah ‘azza wa jalla juga akan selalu menolongnya. Allah ‘azza wa jalla berfirman :
“Katakanlah, ‘Jika kamu (benar-benar) mencintai Allah, ikutilah aku, niscaya Allah mengasihi dan mengampuni dosa-dosamu’. Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS. Ali ‘Imran/3:31)
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
“Demi Dzat yang jiwaku berada di Tangan-Nya, seandainya Nabi Musa masih hidup, niscaya tidak ada pilihan baginya kecuali mengikutiku.”
Apabila Nabi Musa ‘alaihis salam yang digelari oleh Allah ‘azza wa jalla sebagai kalimullah saja tidak punya pilihan selain mengikuti Rasulullah apakah selain beliau ‘alaihis salam memiliki pilihan lain ? Ini salah satu di antara dalil tegas yang mewajibkan ittiba’ (mengikuti dan meneladani) Rasulullah , karena itu termasuk konsekuensi syahadat (persaksian) bahwasanya Muhammad adalah utusan Allah ‘azza wa jalla. Oleh sebab itu, Allah ‘azza wa jalla mewajibkan ittiba’ (mengikuti) hanya kepada Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam saja, tidak kepada selain beliau. Itiiba’ kepada beliau sebagai tanda kecintaan Allah ‘azza wa jalla terhadap seorang hamba. Dan tidak diragukan lagi, bahwa orang yang
dicintai oleh Allah ‘azza wa jalla, tentu Allah akan selalu bersamanya dalam segala kondisi.
Jika hal ini telah diketahui, maka kepada saudara-saudara kami yang terfitnah dengan memainkan atau mendengarkan nyanyian sufi, kami berkewajiban mengingatkan dengan hal-hal sebagai berikut :
a. Termasuk perkara yang tidak diragukan dan tidak samar bagi seorang ‘alim pun, dari kalangan Ulama kaum Muslimin yang tahu benar al-Kitab dan as-Sunnah, serta manhaj Salafush Shalih, bahwa nyanyian sufi adalah perkara baru, tidak dikenal pada generasi-generasi yang dipersaksikan kebaikannya (oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
yaitu generasi Sahabat, tabi’in, dan tabi’ut tabi’in).
b. Termasuk perkara yang sudah diterima (perkara pasti) di kalangan Ulama bahwa tidak boleh mendekatkan diri kepada Allah kecuali dengan ajaran yang dibawa oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.
c. Termasuk perkara yang pasti di kalangan Ulama bahwa tidak boleh mendekatkan diri kepada Allah ‘azza wa jalla dengan apa-apa yang tidak disyariatkan oleh Allah ‘azza wa jalla walaupun pada asalnya hal itu disyariatkan. Contohnya: adzan untuk shalat dua hari raga (padahal disyariatkan adzan hanyalah untuk shalat wajib); shalat raghaib; shalawat di saat bersin;[1] dan lain-lain.
Jika hal itu telah diketahui, maka mendekatkan diri kepada Allah ‘azza wa jalla dengan perkara yang Allah ‘azza wa jalla haramkan (seperti orang-orang Shufi yang bermain musik untuk mendekatkan diri kepada Allah ‘azza wa jalla!) lebih utama untuk diharamkan, bahkan sangat diharamkan. Karena dalam hal itu terdapat penyelisihan dan penentangan terhadap syariat.
Bahkan nyanyian Shufi termasuk menyerupai orang-orang kafir, dari kalangan Nashara dan lainnya. Oleh karena inilah para Ulama -dahulu dan sekarang- sangat keras mengingkari mereka.[2]
Apabila nasyid tersebut diiringi alat musik,maka hukumnya haram. Adapun jika tanpa diiringi alat musik, maka disini penulis nukilkan fatwa-fatwa para ulama terdahulu dan para ulama abad ini tentang hukumnya:
1. Imam Ibnu Rajab al-Hanbali (wafat th. 795 H)
Beliau berkata, “Mendengarkan kasidah-kasidah yang mengandung (anjuran) untuk zuhud, takut (akan adzab Allah ‘Azza wa jalla), dan kerinduan (kepada-Nya) banyak dilakukan oleh ahli suluk dan ahli ibadah dan bisa jadi mereka melantunkannya dengan salah satu bentuk nada (irama) demi memperoleh kelembutan hati. Kemudian ada di antara mereka yang memukul-mukul di atas kulit dengan menggunakan tongkat (maksudnya memukul beduk dan yang sepertinya). Mereka menamakan kasidah-kasidah tersebut dengan at-taghbir, padahal sebagian besar Ulama membencinya. Yazid bin Harun berkata, ‘Tidak ada yang memainkan taghbir kecuali orang fasik.’
Lantas kapankah taghbir itu mulai muncul? Dalam riwayat shahih dari Imam asy-Syafi’i dari riwayat al-Hasan bin ‘Abdul ‘Aziz al Jarwi dan Yunus bin ‘Abdul A’la bahwa beliau (Imam asy-Syafi’i) berkata, ‘Aku meninggalkan sesuatu di Irak yang mereka sebut-sebut dengan at-taghbir, hasil buatan orang-orang zindiq (munafik). Dengannya mereka menghalangi manusia dari al-Qur-an.’ Imam Ahmad rahimahullah juga membencinya dan berkata, ‘ (Taghbir) itu bid’ah dan diada-adakan.’ Dikatakan kepada beliau, ‘Sesungguhnya ia dapat melembutkan hati,’ beliau rahimahullah menjawab, ‘Bid’ah.”‘ [3]
Beliau juga berkata, “Tidak diragukan lagi bahwa mendekatkan diri kepada Allah ‘azza wa jalla dengan mendengarkan nyanyian yang dilagukan apalagi diiringi alat musik merupakan salah satu hal yang diketahui secara pasti dari agama Islam bahkan dari seluruh syariat para Rasul bahwa hal itu bukanlah sesuatu yang bisa mendekatkan diri kepada Allah ‘azza wa jalla dan tidak termasuk sesuatu yang dapat mensucikan hati dan membersihkannya. Karena, Allah ‘azza wa jalla telah mensyariatkan melalui lisan para Rasul-Nya segala apa yang dapat mensucikan jiwa dan membersihkannya dari segala kotoran dan bahayanya.”[4]
2. Imam Ibnul Qayyim rahimahullah
Beliau rahimahullah berkata, “Telah mutawatir dari Imam asy-Syafi’i rahimahullah beliau berkata :
“Ketika aku meninggalkan Iraq, disana muncul sesuatu yang disebut taghbir, dibuat oleh orang-orang zindiq, untuk menghalangi kaum Muslimin dari al-Qur’an.”
Taghbir adalah syair yag mengajak untuk mencintai dunia, dilantunkan oleh seorang penyanyi, lalu sebagian hadirin memukul-mukul permadani atau bantal dengan menggunakan tongkat menirukan irama nyanyiannya. Taghbir ini mengandung segala macam kerusakan dan mengumpulkan segala yang haram, maka janganlah Anda terfitnah dengan orang alim yang jahat dan seorang ahli ibadah yang bodoh. Maka kalau Anda melihat kerusakan yang masuk ke tubuh umat Islam, maka disebabkan oleh dua golongan orang ini (orang alim yang jahat dan ahli ibadah yang bodoh).[5]
3. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah
Beliau rahimahullah berkata, “Apa yang disebutkan oleh Imam asy-Syafi’i rahimahullah bahwa perbuatan itu adalah hasil ciptaan para zindiq (dan ucapan itu) berasal dari seorang imam yang ahli dalam ilmu ushul Islam. Karena pada dasarnya, tidak ada yang mempropagandakan dan menganjurkan nyanyian selain orang-orang zindiq, seperti Ibnu Rawandi, al-Farab, Ibnu Sina, dan yang semisal mereka, sebagaimana yang disebutkan oleh Abdurrahman as-Sulau dalam Mas’alah as-Sama’ dari Ibnu Rawandi .[6]
4. Syaikh Muhammad Nashiruddin al-Albani
Beliau menyatakan dalam ceramah yang direkam dalam kaset, dengan judul Hukum Nasyid Islami. Beliau menuturkan, “Sudah saatnya bagi dunia Islam untuk bangkit dari kelalaian dan tidur panjang untuk kembali kepada Islam, selangkah demi selangkah. Sudah saatnya bagi orang-orang yang berkepentingan untuk menyadari bahwa ada sekian banyak hukum yang bertentangan dengan syariat, yang diambil, disahkan dan diterapkan oleh mereka, yang mereka namai dengan nama yang bukan berasal dari syariat. Kita harus menyadari hakikat ini, berupa perubahan akibat karena perubahan nama, diantaranya apa yang dinamakan dengan nasyid Islami.
Selama empat belas abad tidak pernah ditemukan nasyid-nasyid yang kemudian disebut dengan nasyid Islami. Ini merupakan perkara baru yang diada-adakan pada zaman sekarang karena mengikuti satu dua orang yang pernah muncul sepanjang beberapa abad yang lampau, namun tidak lepas dari pengingkaran para pemuka Ulama, yaitu apa yang disebut dengan lagu-lagu shufi yang biasa dilantunkan dalam majelis-majelis mereka, yang mereka sebut dengan majelis zikir… Sedangkan pada zaman sekarang ini nasyid-nasyid itu menggantikan posisi lagu-lagu yang biasa dilantunkan orang-orang Shufi, yang ternyata mereka mendapat serangan gencar dari para Ulama. Bahkan serangan ini tampak semakin gencar pada zaman sekarang, sampai akhirnya suara orang-orang Shufi tidak lagi terdengar…” [7]
5. Syaikh Muhammad bin Shalih al-‘Utsaimin
Beliau mengatakan, “Nasyid Islami merupakan nasyid yang diada-adakan, yang pernah dibuat oleh orang-orang shufi. Karena itu, nasyid tersebut harus ditinggalkan lalu beralih kepada al-Qur’an dan as-Sunnah, kecuali jika sedang berada di medan perang untuk membakar semangat jihad di jalan Allah maka hal itu bagus. Jika nasyid itu disertai tabuhan rebana atau gendang, maka ia menjadi jauh dari kebenaran.” [8]
Beliau rahimahullah juga pernah ditanya dengan pertanyaan yang berbunyi, “Saya mohon penjelasan dalam masalah nasyid -nasyid Islami yang dijual oleh dapur rekaman- dan hukum membelinya?
Beliau rahimahullah menjawab, “Saya berikankepada Anda kaidah umum :
a. Apabila nasyid itu diiringi dengan rebana maka hukumnya haram, karena rebana tidak boleh (dimainkan) kecuali pada waktu tertentu tidak untuk setiap waktu. Dan lebih haram lagi jika diiringi dengan alat musik atau gendang (bedug).
b. Apabila tidak diiringi alat musik maka kita lihat, apakah nasyid itu dinyanyikan seperti lagu-lagu yang tidak senonoh ? Maka yang seperti ini pun tidak boleh.
c. Apabila nasyid ini dinyanyikan oleh para pemudi yang suara mereka menggerakkan syahwat atau orang lain menikmati suaranya tanpa memperhatikan kandungan dari syair itu sendiri, maka ini pun tidak diperbolehkan. [9]
6. Syaikh Shalih bin Fauzan hafizhahullah
.Beliau hafizhahullah menyatakan dalam al Khuthab al-Mimbariyyah (111/184-185) yang isinya sebagai berikut :
“Yang perlu diwaspadai ialah maraknya peredaran kaset-kaset nasyid di kalangan remaja aktivis agama, yang dibawakan beberapa orang penyanyi, yang mereka sebut dengan istilah “Nasyid Islami”, yang pada dasarnya sama dengan lagu-lagu yang banyak beredar. Bahkan adakalanya dibawakan dengan suara yang menggoda, yang dijual di tempat-tempat penjualan kaset-kaset bacaan al-Qur’an dan ceramah agama.
Penamaan nasyid-nasyid ini dengan sebutan “nasyid Islami” merupakan penamaan yang keliru karena Islam tidak mensyariatkan nasyid-nasyid itu kepada kita, tetapi Dia mensyariatkan berzikir kepada-Nya, membaca al-Qur’an, dan mempelajari ilmu yang bermanfaat. Adapun nasyid-nasyid itu berasal dari agama orang-orang shufi yang memang biasa berbuat bid’ah, yang menjadikan agama sebagai permainan dan senda gurau. Menjadikan nasyid sebagai bagian dari agama mirip dengan perbuatan orang-orang Nasrani, yang menjadikan agama mereka berupa nyanyian-nyanyian yang dibawakan secara berbarengan. Yang harus dilakukan ialah justru mewaspadai nasyid-nasyid tersebut, melarang penjualan dan peredarannya karena nasyid-nasyid itu mendatangkan cobaan bagi orang yang selama ini penuh dengan semangat. [10]
7. Syaikh Ahmad bin Yahya bin Muhammad an-Najmi
Beliau menyatakan, “Saya tidak menganggap mendengarkan sya’ir itu adalah haram, karena Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam juga mendengarkannya. Tetapi, orang-orang pada zaman sekarang mengikuti jalan orang-orang shufi dalam masalah nasyid ini, yang katanya untuk membangkitkan hati.
Ibnul Jauzi menyebutkan dalam kitabnya, Naqdul ‘Ilmi wal ‘Ulama (hlm. 230) pernyataan Imam asy-Syafi’i, “Aku meninggalkan sesuatu di. Irak, yang diada-adakan oleh orang-orang zindiq. Mereka membuat orang-orang sibuk dengannya dan meninggalkan al-Qur’an, yang mereka sebut dengan istilah at-taghbir.”
Ibnul Jauzi menyatakan, Abu Manshur al-Azhari menyatakan bahwa al mughbirah adalah orang-orang yang berzikir
kepada Allah ‘azza wa jalla dengan doa dan wirid. Mereka menyebut sya’ir yang berupa dzikir kepada Allah ‘azza wa jalla itu dengan nama at-taghbir. Seakan-akan jika mereka melantunkan sya’ir-sya’ir itu, maka mereka layak disebut mughbirah berdasarkan makna ini.
Menurut al-Zajjaj, mereka dinamakan mughbirah untuk mendorong manusia untuk hidup zuhud di dunia dan menginginkan akhirat.
Saya katakan, ‘Urusan orang-orang shufi itu memang aneh. Mereka menganggap bahwa mereka menyuruh manusia hidup zuhud di dunia dengan nyanyian, mereka menginginkan akhirat dengan nyanyian pula. Apakah nyanyian itu menjadi sebab zuhud di dunia dan keinginan terhadap akhirat, atau hakikatnya adalah kebalikannya.
Saya tidak ragu dan siapa pun yang mengenal Allah dan Rasul-Nya tidak ragu bahwa nyanyian itu tidak membangkitkan kecuali: keinginan terhadap dunia dan menghindari akhirat, merusak akhlak dan ilmu. Jika mereka memaksudkan untuk akhirat berarti itu merupakan ibadah. Suatu ibadah yang tidak disyariatkar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa salam berarti bid’ah. Kesimpulannya nasyid adalah bid’ah.”[11]
8. Syaikh ShaIih bin AbduI ‘Aziz AaIu Syaikh hafizhahullah
Beliau mengatakan, “Mendengarkan lagu-lagu yang diiringi tabuhan alat musik dan kasidah, kasidah zuhud, sama dengan sebutan at-taghbir yang mirip dengan tabuhan rebana atau gendang dari kulit, yang di sana dilantunkan kasidah-kasidah zuhud seperti yang dilakukan segolongan orang shufi yang menganjurkan kepada akhirat dan menghindari kehidupan dunia.
Para ulama mengingkari at-taghbir ini dan mereka menolak untuk mendengarkan kasidah kasidah yang dilagukan karena itu merupakan bid’ah. Lirik yang digunakan orang-orang shufi mirip dengan lagu. Para Ulama menganggapnya sebagai bid’ah yang baru. Keberadaannya sebagai bid’ah sangat jelas sekali karena tujuan pembuatan lirik-lirik itu untuk mendekatkan diri kepada Allah, padahal sebagaimana yang diketahui, taqarrub (mendekatkan diri) kepada Allah tidak boleh dilakukan kecuali dengan cara yang disyari’atkan-Nya. Kasidah-kasisah ini juga sama dengan kasidah-kasidah yang disampaikan pada masa dahulu, yang kemudian disegarkan oleh orang-orang shufi pada masa sekarang. Ini merupakan bid’ah baru, dan hati manusia tidak boleh condong kepadanya.” [12]
9. Syaikh Bakr Abu Zaid
Beliau berkata, “Yang perlu kami sampaikan di sini bahwa zikir dan doa dengan berlagu, dengan lirik yang disertai tabuhan alat musik, melantunkan sya’ir, tepuk tangan, semua itu merupakan perbuatan bid’ah yang sangat menjijikkan dan perbuatan yang buruk, lebih buruk daripada berbagai jenis pelanggaran dalam berdoa dan berzikir. Siapa pun yang melakukan itu atau sebagian diantaranya harus segera melepaskan diri darinya, tidak membuat dirinya tunduk kepada hawa nafsu dan bisikan setan. Siapa pun yang melihat sebagian dari hal-hal itu harus mengingkarinya. Siapa pun diantara kaum Muslimin yang memiliki kekuatan harus mencegahnya, mencela pelakunya, dan meluruskannya.” [13]
10. Imam IbnuI Jauzi (wafat th. 597 H).
Beliau mengatakan, “Telah berkata para ahli fiqih dari Sahabat-Sahabat kami bahwa persaksian penyanyi dan penari tidak boleh diterima. Wallahul muwaffiq.”[14]
11.Imam al-Hafizh Abu ‘Amr Ibnus Shalah (wafat th. 643 H).
Beliau ditanya tentang orang-orang yang menghalalkan nyanyian dengan rebana dan seruling, dengan tarian dan tepuk tangan, serta mereka menganggapnya sebagai perkara halal yang dapat mendekatkan diri kepada Allah, bahkan sebagai ibadah yang paling utama. Beliau berkata, “Mereka telah berdusta atas nama Allah, dengan pendapat tersebut mereka telah mengiringi orang-orang kebatinan yang menyimpang. Mereka juga telah menyelisihi ijma’ (kesepakatan), sedangkan barangsiapa menyelisihi ijma’ terkena ancaman dalam firman Allah ‘Azza wa Jalla,
“Dan barangsiapa menentan Rasul (Muhammad) setelah jelas kebenaran baginya dan mengikuti jalan yang bukan jalan orang-orang Mukmin, Kami biarkan di dalam kesesatan yang telah dilakukannya itu dan akan Kami masukkan dia ke dalam Neraka Jahannam dan Jahannam itu seburuk-buruk tempat kembali.” [QS.an-Nisa’/4:115). [15]
Bersambung insyaallah..
Foot Note:
[1] Contoh yang beliau bawakan untuk menunjukkan tidak boleh kita mengadakan adzan pada shalat ‘Iedain (dua hari raya), tidak boleh shalat radhaib pada bulan Rajab, dab tidak boleh shalawat pada saat bersin karena semua ini tidak ada contohnya dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.
[2] Tahrimu Alatit Tharb (hal.158-163) dengan ringkas. Karya Syaikh Muhammad Nashiruddin al-Albani rahimahullah.
[3] Majmu’ Rasail Ibni Rajab (Nuzhatul Asma’)’ (II/463)
[4] Majmu’ Rasail Ibni Rajab (Nuzhatul Asma’)’ (II/462)
[5] Diringkas dari Ighatsatul Lahafan (1/416-417), Imam Ibnul Qayyim, tahqiq: Syaikh Ali Hasan al-Halabi.
[6] Majmu’ Fatawa (11/570).
[7] Lihat al-Qaulul Mufid fii Hukmil Anasyid(hlm.31-32)
[8] Fatawa al-‘Aqidah (hlm. 651, no. 369). Dinukil dari al-Qaulul Mufid fii Hukmil Anasyid (hlm. 40)
[9] Silsilah Liqa-at Babil Maftuh, al-Maktabah ash-Shautiyyah, kaset (no. 111-wajah kedua) yang ditandatangani oleh Syaikh Muhammad bin Shalih al-‘Utsaimin. Dinukil dari ar-Radd ‘alal Qardhawi wal Judai’i (hlm. 586) karya Syaikh ‘Abdullah bin Ramadhan bin Musa.
[10] Lihat al-Qaulul Mufld fii Hukmil Anasyid (hlm. 37-38)
[11] 11 al-Mauridul ‘Adzbuz Zulal fiima untuqida ‘ala Ba’dhi Manahiji ad-Da’awiyyah minal ‘Aqd-idi wal A’mal (hlm. 223).
[12] Dinukil dari al-Qaulul Mufid fii Hukmil Anasyid (hlm. 44).
[13] ash-Hihud Du’a (hlm. 78).
[14] Talbis Iblis (h1m. 237) dan al-Muntaqan Nafis (hlm. 302).
[15] Fatawa Ibnish Shalat (hal.300-301. Dinukil dari Tahrim Alatith Tharb (hal.170]
Sumber: Majalah as Sunnah Edisi 07/THN XVI/Dzhulhijjah 1433H/November 2012M
Artikel: https://alqiyamah.wordpress.com
Posted on Desember 8, 2012, in Sufi and tagged Fatwa Tentang Nasyid, Fatwa Tentang Sufi, Fatwa Ulama, Nasyid Islami Haram, Sejarah Sufi. Bookmark the permalink. 7 Komentar.
Reblogged this on Chakra Media Promosindo and commented:
Inilah beberapa alasan mengapa kami sekarang enggan bernyanyi dan tidak menyukai musik.
Reblogged this on Dyansatyas's Blog.
nice share, jadi nasyid itu bid’ah ya…
mendengarkan nanyian, memainkan alat musik dan bernyanyi itu apakah haram?
ijin copaz
suwun
Para ulama yang tidak mengharamkan nyanyian dan musik juga punya hujjah yang tidak bisa dianggap enteng. Hujjah mereka justru dengan cara mengkritisi dalil-dalil yang digunakan oleh pihak yang mengharamkan. Dimana pada intinya mereka menyatakan bahwa semua dalil yang dipakai, meski jumlahnya banyak, tapi tak satu pun yang tepat sasaran.
1. Jawaban Atas Dalil Quran
Lima ayat yang digunakan oleh mereka yang mengharamkan nyanyian dan musik adalah ayat yang sama sekali tidak menyinggung sedikit pun tentang nyanyian dan musik itu sendiri.
Kalau pun dipaksakan untuk ditafsirkan menjadi nyanyian dan lagu, sifatnya semata-mata hanya penafsiran yang subjektif dan dilakukan oleh hanya beberapa gelintir ulama ahli tafsir saja. Sama sekali tidak bisa dikatakan bahwa tafsiran itu mewakili pendapat seluruh mufassirin.
Jadi paling jauh, kita hanya bisa mengatakan bahwa sebagian ulama memang mengharamkan nyanyian dan lagu lewat ayat-ayat tersebut, namun sifatnya tidak mutlak, lebih merupakan pendapat subjektif dari beberapa orang di antara ulama.
a. Surat Luqman : Lahwal Hadits
وَمِنَ النَّاسِ مَن يَشْتَرِي لَهْوَ الْحَدِيثِ لِيُضِلَّ عَن سَبِيلِ اللَّهِ بِغَيْرِ عِلْمٍ وَيَتَّخِذَهَا هُزُواً أُولَئِكَ لَهُمْ عَذَابٌ مُّهِينٌ
Dan di antara manusia (ada) orang yang mempergunakan perkataan yang tidak berguna untuk menyesatkan (manusia) dari jalan Allah tanpa pengetahuan dan menjadikan jalan Allah itu olok-olokan. Mereka itu akan memperoleh azab yang menghinakan. (QS. Luqman : 6)
Istilah lahwal-hadits (لهو الحديث) di dalam surat Luqman, memang cukup sering ditafsirkan oleh beberapa ulama sebagai nyanyian dan lagu. Namun para ulama yang tidak berpendapat seperti itu jumlahnya jauh lebih banyak lagi.
Misalnya Adh-Dhahhak, beliau menafsirkannya isitlah ini sebagai syirik, dan bukan nyanyian dan musik. Sedangkan Al-Hasan mengatakan bahwa maknanya adalah syirik dan kufur.
Ibnu Hazm menolak pengharaman musik bila menggunakan ayat ini, dengan beberapa alasan, antara lain :
Pertama, penafsiran versi Mujahid tidak bisa diterima, karena yang berhak menjelaskan Al-Quran hanyalah Rasulullah SAW. Dan beliau SAW tidak menjelaskan seperti yang ditafsirkan oleh Mujahid.
Kedua, penafsiran Mujahid ini sifatnya sepihak saja, tidak mewakili penafsiran kebanyakan ulama. Sementara ada begitu banyak shahabat dan tabi’in yang menghalalkan musik.
Ketiga, kalau ditafsirkan bahwa yang dimaksud lahwa-hadits itu hanya terbatas alat musik, maka penafsiran ini batil. Sebab bisa saja orang membeli benda yang lain lalu digunakan untuk menyesatkan orang dijadikan permainan.
Katakanlah misalnya ada orang membeli mushaf Al-Quran, lalu dijadikan alat untuk menyesatkan orang dan permainan. Lantas apakah haram hukumnya membeli mushaf Al-Quran hanya karena ada orang tertentu yang menjadikannya sebagai penyesat dan permainan?
Jawabnya tentu tidak. Kalau mau mengharamkan, seharusnya yang diharamkan adalah ketika menjadikan suatu benda sebagai alat untuk menyesatkan manusia dan permainan, bukan mengharamkan benda tersebut.
a. Surat Al-Anfal : Siulan dan Tepukan
Ketika berhujjah dengan ayat tentang tentang orang-orang kafir di zaman jahiliyah beribadah dengan cara bertepuk dan bersiul, sehingga hasil kesimpulannya bahwa nyanyian dan musik itu menjadi haram, maka metode pengambilan kesimpulan hukumnya terlihat lemah sekali.
وَمَا كَانَ صَلاَتُهُمْ عِندَ الْبَيْتِ إِلاَّ مُكَاء وَتَصْدِيَةً فَذُوقُواْ الْعَذَابَ بِمَا كُنتُمْ تَكْفُرُونَ
Sembahyang mereka di sekitar Baitullah itu, lain tidak hanyalah siulan dan tepukan tangan. Maka rasakanlah azab disebabkan kekafiranmu itu. (QS. Al-Anfal : 35)
Ayat ini tidak secara langsung menyebutkan tentang musik dan lagu. Ayat ini hanya bercerita tentang bagaimana orang-orang di masa jahiliyah melakukan ibadah dengan cara bersiul-siul dan bertepuk-tepuk tangan.
Kemudian oleh kalangan yang ingin mengharamkan lagu dan musik, perbuatan orang-orang jahiliyah di masa lalu yang diceritakan di ayat ini kemudian dikaitkan dengan keharaman bernyanyi dan bermusik.
Padahal yang diharamkan adalah menyembah Allah dengan cara bersiul dan bertepuk tangan, yang mana hal itu merupaan perbuatan orang-orang kafir di masa jahiliyah.
Adapun bersiul dan bertepuk tangan di luar konteks ibadah kepada Allah, sama sekali tidak terkait dengan hukum halal dan haram. Artinya, tidak ada keharaman dari bertepuk dan bersiul, asalkan tidak ada berkaitan dengan ibadah. Misalnya adat dan budaya serta gestur yang ada di suatu masyarakat dalam berkomunikasi dengan sesama, tentu tidak bisa diharamkan begitu saja.
Di suatu peradaban tertentu, rasa kagum atas suatu hal biasa diungkapkan dengan cara bersiul. Atau rasa hormat dan bahagia biasa diungkapkan dengan bahasa tubuh yaitu bertepuk tangan spontan. Bahasa tubuh seperti itu tidak bisa begitu saja dikaitkan dengan sebuah peribadatan di peradaban yang lain.
Kalau bersiul dan bertepuk tidak selalu menjadi haram, apalagi bernyanyi dan bermusik, yang sama sekali tidak ada hubungannya. Maka kita tidak tepat rasanya mengharamkan nyanyian dan musik dengan menggunakan ayat ini.
b. Surat Al-Isra’ : Suara
Kalangan yang mengharamkan nyanyian dan musik juga menggunakan ayat berikut sebagai dasar untuk mengharamkannya.
وَاسْتَفْزِزْ مَنِ اسْتَطَعْتَ مِنْهُمْ بِصَوْتِكَ
Dan hasunglah siapa yang kamu sanggupi di antara mereka dengan ajakanmu (QS. Al-Isra’ : 64)
Mereka mengatakan bahwa salah seorang ahli tafsir, yaitu Mujahid telah memaknainya kalimat bi shautika (بصوتك) sebagai al-ghina (الغناء), yaitu nyanyian dan lagu. Sehingga ayat ini dianggap ayat yang mengharamkannya.
Padahal pendapat itu hanya pendapat satu orang saja, yaitu Mujahid. Tanpa mengurangi rasa hormat kepada beliau, kita pun tidak harus selalu terpaku kepada pendapatnya. Sebab masih banyak ulama ahli tafsir yang tidak berpendapat demikian. Misalnya dengan penafsiran Ibnu Abbas yang mengatakan bahwa maknanya adalah segala ajakan yang mengajak ke arah maksiat kepada Allah.
Nampaknya Departemen Agama RI lebih menggunakan Tafsir Ibnu Abbas dari pada pendapat Mujahid. Sebab kalau kita baca terjemahan ayat ini dalam versi Departemen Agama RI, kata itu diterjemahkan menjadi : ‘dengan ajakanmu’, sama sekali tidak terkait dengan urusan nyanyian dan musik.
c. Surat Al-Furqan : Az-Zuur
Mereka yang mengharamkan nyanyian dan musik juga seringkali menggunakan ayat berikut ini sebagai dasar pengharaman.
وَالَّذِينَ لاَ يَشْهَدُونَ الزُّورَ وَإِذَا مَرُّوا بِاللَّغْوِ مَرُّوا كِرَاماً
Dan orang-orang yang tidak memberikan persaksian palsu, dan apabila mereka bertemu dengan (orang-orang) yang mengerjakan perbuatan-perbuatan yang tidak berfaedah, mereka lalui (saja) dengan menjaga kehormatan dirinya. (QS. Al-Furqan : 72)
Mereka berlindung di balik pendapat Mujahid, bahwa kata la yasyhaduna az-zuur itu maknanya adalah : tidak mendengarkan nyanyian atau lagu. Muhammad bin Al-Hanafiyah mengatakan hal yang sama.
Padahal nyaris kebanyakan pendapat para ulama ahli tafsir tidak sampai ke arah haramnya nyanyian dan lagu, karena terlalu jauh penyimpangan maknanya.
Ayat ini menceritakan tentang ciri-ciri orang yang disebut sebagai ibadurrahman atau hamba-hamba Allah yang beriman, dimana salah satu cirinya adalah orang yang tidak memberikan kesaksian palsu.
Kalau pun ada ulama yang menafsirkan maknanya, tidak selalu berupa haramnya nyanyian dan musik. Misalnya penafsrian Ibnu Katsir yang mengatakan bahwa la yasyhaduna az-zuur adalah tidak melakukan syirik atau menyembah berhala.
Titik pangkalnya adalah pada kata yasyhaduna az-zuur (يشهدون الزور), yang di dalam terjemahan versi Departemen Agama RI diartikan dengan : memberi kesaksian palsu, sebagaimana zhahirnya lafadz ayat ini.
d. Surat Al-Qashash : Laghwi
Kalangan yang mengharamkan nyanyian dan musik berdalih bahwa keduanya merupakan perbuatan sia-sia atau laghwi, sehingga hukumnya haram. Namun kalangan yang menghalalkannya menjawab bahwa tidak semua perbuatan laghwi dilarang di dalam syariat Islam. Bahkan Al-Quran sendiri menyebutkan ada jenis laghwi yang tidak mendatangkan dosa.
Salah satunya adalah orang yang berlaghwi ketika mengucapkan sumpah, dimana Allah SWT tidak mempermasalahkannya, sebagaimana tersebut pada ayat berikut :
لاَ يُؤَخِذُكُمُ اللَهُ بِالَلغُو ِفِي أَيُمَانَكمُ
Allah tidak menghukum kamu disebabkan sumpahmu yang tidak dimaksud, tetapi Allah menghukum kamu disebabkan yang disengaja oleh hatimu. Dan Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyantun. (QS. Al-Baqarah : 225)
f. Surat An-Najm : Samidun
Ayat lainnya yang juga sering ditafsirkan sebagai musik atau lagu adalah potongan ayat di dalam surat An-Najm.
أَفَمِنْ هَذَا الْحَدِيثِ تَعْجَبُونَ وَتَضْحَكُونَ وَلاَ تَبْكُونَ وَأَنتُمْ سَامِدُونَ
Maka apakah kamu merasa heran terhadap pemberitaan ini? Dan kamu mentertawakan dan tidak menangis? Sedang kamu melengahkan(nya)? (QS. An-Najm : 59-61)
Yang menjadi titik perhatian adalah kata samidun (سامدون). Dalam terjemahan yang kita baca dalam versi Departemen Agama, kata itu berarti orang yang lengah.
Namun beberapa ahli tafsir mengaitkannya dengan lagu dan nyanyian. Misalnya Abdullah bin Al-Abbas radhiyallahu mengatakan bahwa yang dimaksud dengan samidun di ayat ini adalah al-mughannun (المغنون), yaitu orang-orang yang bernyanyi atau mendendangkan lagu. Hal yang sama dikatakan oleh Ikrimah.
Sedangkan Adh-Dhahhak menafsirkan as-samud (السمود) sebagai al-lahwu wa al-la’bu (اللهو و اللعب), yang artinya pekerjaan yang sia-sia dan permainan.
Maka ayat ini menurut mereka menyebutkan sifat-sifat buruk yang dilakukan, yaitu ketika dibaca ayat-ayat Al-Quran, mereka malah bernyanyi-nyanyi.
2. Jawaban Atas Dalil Hadits
Kalau dihitung-hitung, hadits-hadits yang sering dijadikan alasan untuk mengharamkan nyanyian dan musik memang cukup banyak. Namun masalahnya sebagian dari hadits itu bermasalah, baik dari segi isnad maupun dari segi istidlal.
Abu Bakar Ibnul Arabi di dalam kitab Al-Ahkam menyebutkan dengan tegas bahwa tidak ada satu pun hadits yang shahih di antara hadits-hadits yang sering dijadikan dasar untuk mengharamkan musik.
Senada dengan di atas, Ibnu Thahir di dalam kitabnya As-Sima’, juga mengatakan tidak ada satu huruf pun yang shahih dari hadits-hadits yang mengharamkan musik.
Ibnu Hazm di dalam kitab Al-Muhalla menyebutkan : tidak ada satu pun hadits shahih dalam bab tentang haramnya musik ini. Semuanya hadits maudhu’.
Mari kita bahas satu persatu hadits-hadits yang banyak digunakan oleh merekayang mengharamkan nyanyian dan musik.
a. Hadits Pertama : Sharih Tapi Tidak Shahih
Kalangan yang mengharamkan nyanyian dan musik menggunakan hadits berikut ini sebagai dalil.
إِذَا فَعَلَتْ أُمَّتِي خَمْسَ عَشْرَةَ خَصْلَةً حَل بِهَا الْبَلاَءُ وَعَدَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مِنْهَا : وَاتَّخَذَتِ الْقَيْنَاتِ وَالْمَعَازِفَ
Diriwayatkan dari Ali bin Abi Thalib radhiyallahuanhu bahwa Rasulullah SAW bersabda,”Apabila umatku telah mengerjakan lima belas perkara, maka telah halal bagi mereka bala’. Dan beliau SAW menghitung salah satu di antaranya adalah umatku memakai alat-alat musik”. (HR. Tirmizy)
Namun yang jadi masalah adalah meski matan hadits ini dari segi istidlal termasuk sangat jelas dan tegas menyebut nama alat musik, sehingga tidak bisa ditafsirkan menjadi sesuatu yang lain, bahkan acamannya juga jelas, yaitu bala’, tetapi sayangnya para ulama umumnya memvonis hadits ini lemah. Bahkan perawinya sendiri, yaitu Al-Imam At-Tirmizy, jelas-jelas menyebutkan dalam Sunan At-Tirmiziy, bahwa tersebut tidak shahih.
Maka bagi mereka yang menghalalkan nyanyian dan musik, hadits ini tidak bisa dijadikan landasan untuk mengharamkannya. Karena hukum halal haram tidak boleh dilandasi dengan hadits yang status hukumnya lemah.
b. Hadits Kedua : Sharih Tapi Tidak Shahih
إِنَّ اللَّهَ بَعَثَنِي رَحْمَةً وَهُدًى لِلْعَالَمِينَ وَأَمَرَنِي أَنْ أَمْحَقَ الْمَزَامِيرَ وَالْكِنَّارَاتِ
Diriwayatkan dari Abi Umamah radhiyallahuanhu bahwa Rasulullah SAW bersabda,”Sesungguhnya Allah SWT telah mengutusku menjadi rahmat dan petunjuk bagi alam semesta. Allah SWT telah memerintahkan aku untuk menghancurkan seruling dan alat-alat musik”. (HR. Ahmad)
Hadits ini juga tegas sekali menyebutkan tentang salah satu tugas Rasulullah SAW, yaitu menghancurkan seruling dan alat-alat musik. Kalau seandainya hadits ini shahih, pastilah para ulama tidak pernah berbeda pendapat tentang kewajiban menghancurkan alat-alat musik. Atau setidak-tidaknya, mengharamkan alat musik secara aklamasi.
Masalahnya justru karena hadits kedua ini juga didhaifkan oleh banyak ulama, di antaranya Al-Haitsami menyebutkan bahwa dalam rangkaian para perawinya ada seorang perawi yang dhaif bernama Ali bin Yazid.
Maka wajar kalau sebagian ulama ada yang mengharamkan alat-alat musik, namun sebagian lagi tidak memandang keharaman alat-alat musik, lantaran dalil yang digunakan untuk mengharamkannya justru bermasalah, karena merupakan hadits dhaif.
Dan hadits dhaif memang boleh digunakan untuk meningkatkan semangat dalam mendapatkan keutamaan, tetapi seluruh ulama sepakat menolak hadits dhaif untuk menghalalkan yang haram atau mengharamkan yang halal.
c. Hadits Ketiga : Shahih Tapi Tidak Sharih
لَيَكُونَنَّ مِنْ أُمَّتِي أَقْوَامٌ يَسْتَحِلُّونَ الْحِرَ وَالْحَرِيرَ وَالخَمْرَ وَالمَعَازِفَ
Akan ada dari umatku suatu kaum yang menghalalkan kemaluan, sutera, khamar dan alat musik. (HR. Bukhari)
Para ulama membicarakan dan memperselisihkan hadits-hadits tentang haramnya nyanyian dan musik ini, yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari dalam Shahihnya, dari Abi Malik Al-Asy’ari. Hadits ini walaupun terdapat dalam hadits Shahih Bukhari, tetapi para ulama memperselisihkannya.
Banyak diantara mereka yang mengatakan bahwa hadits ini adalah hadits mu’alaq (sanadnya terputus), diantaranya dikatakan oleh Ibnu Hazm. Mengapa demikian?
Ternyata hadits ini termasuk dalam kategori mu’allaqat (معلقات), meski pun Al-Hafidz Ibnu Hajar Al-Asqalani berijtihad bahwa hadits ini tersambung lewat sembilan jalur periwayatan. Namun semua jalur itu melewati satu orang perawi yang banyak diperdebatkan oleh para ulama, yaitu perawi bernama Hisyam bin Ammar.
Di antara perdebatan mereka antara lain apa yang dikomentari Abu Daud tentang Hisyam, yaitu sebagai orang yang meriwayatkan 400 hadits yang tidak ada asalnya. Abu Hatim menyebutnya sebagai pernah berstatus shaduq tapi kemudian sudah berubah.
An-Nasa’i menyebutnya sebagai : la ba’sa bihi. Sebutan ini tidak menghasilkan mutlak kepercayaan. Sedangkan mereka yang tidak mempermasalahkan Hisyam, bersikeras menyebut bahwa Bukhari tidak mencacatnya.
Selain itu Hisyam ini adalah khatib di Damaskus, juga ahli Al-Quran serta juga ahli hadits negeri itu. Disamping itu diantara para ulama menyatakan bahwa matan dan sanad hadits ini tidak selamat dari kegoncangan (idhtirab).
Katakanlah, bahwa hadits ini shahih, karena terdapat dalam hadits Shahih Bukhari, tetapi nash dalam hadits ini masih bersifat umum, tidak menunjuk alat-alat tertentu dengan namanya.
Batasan yang ada adalah bila ia melalaikan. Kalau pun periwayatan hadits ini diterima, apa-apa yang disebutkan itu tidak semuanya haram secara mutlak. Misalnya sutera yang hanya diharamkan buat laki-laki, sedangkan perempuan dibolehkan memakainya. Hadits ini juga tidak menyebutkan zina dengan istilah zina, melainkan dengan istilah hira (الحِرَ).
Makna aslinya adalah kemaluan atau farji. Namun kemudian mengalami pergeseran makna menjadi zina. Maka kalau kita gunakan makna aslinya, yaitu menghalalkan kemaluan, hukumnya tidak mutlak salah. Sebab menghalalkan kemaluan bisa dengan cara yang benar, seperti lewat pernikahan atau menyetubuhi budak. Maka ketika Nabi SAW menyebut alat musik, sifatnya tidak mutlak haram, tetapi maksudnya bila alat-alat musik itu membawa madharat yang memang dilarang. Maka barulah hukumnya haram.
d. Hadits Keempat :
Haramnya suara musik juga didasarkan pada hadits berikut ini yang secara jelas-jelas menyebutkan bahwa suara seruling itu merupakan hal yang terlaknat di dunia dan akhirat.
صَوْتَانِ مَلْعُوْنَانِ فيِ الدُّنْيَا وَالآخِرَةِ : مِزْمَارٌ عِنْدَ نِعْمَةٍ وَرَنَّةٌ عِنْدَ مُصِيْبَةٍ
Dua jenis suara yang dilaknat di dunia dan di akhirat, yaitu suara seruling ketika ada kenikmatan dan suara tangisan ketika musibah. (HR. Al-Bazzar)
e. Hadits Kelima :
عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عُمَرَ أَنَّ النَّبِيَّ قَالَ إنَّ اللَّهَ حَرَّمَ الْخَمْرَ وَالْمَيْسِرَ وَالْكُوبَةَ وَالْغُبَيْرَاءَ
Dari Abdullah bin Umar radhiyallahu bahwa Nabi SAW bersabda,”Sesungguhnya Allah SWT telah mengharamkan khamar, judi, kubah dan ghubaira’ (HR. Ahmad dan Abu Daud)
إنَّ اللَّهَ حَرَّمَ عَلَى أُمَّتِي الْخَمْرَ وَالْمَيْسِرَ وَالْمِزْرَ وَالْكُوبَةَ وَالْقِنِّينَ
Sesungguhnya Allah SWT telah mengharamkan atas umatku dari khamar, judi, mizar, kubah dan qinnin. (HR. Ahmad)
f. Hadits Keenam : Menutup Telinga Bukan Berarti Haram
عَنْ نَافَعٍ أَنَّ ابْنَ عُمَرَ سَمِعَ صَوْتَ زِمَارَةِ رَاٍع فَوَضَعَ أُصْبُعَيْهِ فيِ أُذُنَيْهِ وَعَدَلَ رَاحِلَتَهُ عَنِ الطَّرِيْقِ وَهُوَ يَقُولُ : يَا نَافِع أَتَسْمَعُ ؟ فَأَقُولُ : نَعَمْ فَيَمْضِي حَتىَّ قُلْتُ : لاَ فَرَفَعَ يَدَهُ وَعَدَلَ رَاحِلَتَهُ إِلىَ الطَّرِيْقِ وَقَالَ : رَأَيْتُ رَسُولَ اللهِ سَمِعَ زِمَارَةَ رَاعٍ فَصَنَعَ مِثْلَ هَذَا – رواه أحمد وأبو داود وابن ماجه ‘
Dari Nafi bahwa Ibnu Umar mendengar suara seruling gembala, maka ia menutupi telingannya dengan dua jarinya dan mengalihkan kendaraannya dari jalan tersebut. Ia berkata:’Wahai Nafi’ apakah engkau dengar?’. Saya menjawab:’Ya’. Kemudian melanjutkan berjalanannya sampai saya berkata :’Tidak’. Kemudian Ibnu Umar mengangkat tangannya dan mengalihkan kendaraannya ke jalan lain dan berkata: Saya melihat Rasulullah SAW mendengar seruling gembala kemudian melakukan seperti ini’ (HR Ahmad, Abu Dawud dan Ibnu Majah).
Hadits ini punya dua kelemahan sekaligus, yaitu dari segi isnad dan istidlal. Dari segi sanad, hadits ini divonis sebagai hadits munkar oleh Abu Daud. Meski pun ada juga yang menentangnya. Namun kalau pun hadits ini diterima dari segi isnad, masih juga bermasalah dari segi istidlal.
Mengapa?
Karena hadits ini sama sekali tidak menyebutkan halal atau haramnya mendengar suara musik secara eksplisit. Hadits ini memang dari segi istidlah bisa ditafsirkan menjadi dasar keharaman mendengar suara musik. Namun kesimpulan itu belum tentu tepat sasaran. Karena ada beberapa kejanggalan dalam detailnya, seperti :
Pertama, seandainya hukum mendengar suara musik itu memang benar-benar haram, seharusnya Ibnu Umar tidak pergi dan berlalu dari penggembala. Seharusnya beliau melarang si penggembala meniup seruling. Sebagai ahli fiqih di zamannya, tidak boleh hukumnya buat beliau mendiamkan kemungkaran, dan hanya sekedar menghindar. Tapi yang beliau lakukan hanya menghindar saja, tidak melarang. Berarti kalau peristiwa disimpulkan sebagai haramnya musik adalah kesimpulan yang kurang tepat.
Kedua, seandainya hukum mendengar musik itu memang benar-benar haram secara mutlak, maka seharusnya Ibnu Umar tidak hanya menutup telinganya sendirian. Seharusnya beliau juga memerintahkan pembantunya, Nafi’, untuk ikut juga menutup telinga, seperti yang beliau lakukan dan sebagaimana yang konon dilakukan oleh Rasulullah SAW.
Tetapi kenyataannya, Ibnu Umar sama sekali tidak memerintahkan Nafi’ untuk menutup telinga. Malah beliau bertanya apakah Nafi’ masih mendengarnya. Maka karena tidak ada kejelasan pasti tentang mendengar musik haram apa tidak di hadits ini, bisa saja kita berasumsi bahwa ketika Rasulullah SAW menutup telinganya, bukan karena haramnya, melainkan karena sebab-sebab yang lain.
Sebab-sebab yang lain itu misalnya karena momentumnya tidak tepat. Mengingat di waktu-waktu tertentu, Rasulullah SAW justru membolehkan nyanyian dan musik diperdengarkan dan dimainkan, misalnya ketika Hari Raya, pernikahan atau ketika dalam peperangan.
Atau boleh jadi si penggembala kurang pandai memainkan alat musiknya sehingga terkesan memekakkan telinga, fals dan sumbang. Sehingga beliau SAW menutup telinganya sambil meninggalkannya.
Padahal kalau seandainya meniup seruling itu haram, seharusnya Rasulullah SAW bukan menutup telinga, tetapi beliau menegur penggembala itu secara langsung. Mustahil buat seorang Nabi mendiamkan kemungkaran di depan mata. Karena hal itu berarti tidak amanah dalam menjalankan tugas-tugas kenabian.
g. Hadits Ketujuh Batilnya Semua Yang Sia-sia
Sebagian kalangan yang ingin mengharamkan nyanyian dan musik menggunakan hadits tentang semua perbuatan sia-sia hukumnya batil, kecuali memanah, melatih kuda dan bercumbu dengan istri.
كُلُّ مَا يَلْهُو بِهِ الرَّجُلُ المُسْلِمُ بَاطِلٌ إِلاَّ رَمْيُهُ بِقَوْسِهِ وَتَأْدِيْبُهُ فَرَسُهُ وَمُلاَعَبَتُهُ أَهْلُهُ فَإِنَّهُنَّ مِنَ الحَقِّ
Semua perbuatan sia-sia yang dikerjakan seorang laki-laki muslim adalah batil, kecuali : melempar panah, melatihkan kuda dan mencumbui istrinya. Semua itu termasuk hak. (HR. At-Tirmizy)
Kelemahan hadits ini ada dua, yaitu dari segi keshahihannya dan dari istidlalnya. Dari segi sanad, Al-Hafidz Al-‘Iraqi menyebutkan bahwa ada idhthirab di dalam hadits ini.
Sedangkan kelemahan dari segi istidlal bahwa hadits ini sama sekali tidak menyebut nyanyian dan musik sebagai sesuatu yang batil. Sedangkan kalau dikatakan bahwa nyanyian dan musik itu termasuk batil karena umumnya hadits ini, yang tidak batil hanya ada tiga perbuatan saja, maka akan ada begitu banyak perbuatan yang batil di sekeliling kita.
Logika seperti ini ibarat ingin membunuh lalat dengan menggunakan meriam. Lalatnya belum tentu mati, tetapi korban yang lain sudah pasti.
Hadits Kedelapan :
Haramnya Lonceng Haramnya musik juga dikaitkan dengan haramnya keberadaan lonceng di dalam rumah. Namun suara lonceng itu tidak selalu mutlak haram. Buktinya, kadang-kadang yang justru didengar oleh Rasulullah ketika menerima wahyu adalah suara lonceng
(demikian juga kita tidak boleh beribadah kepada Allah atau mendekatkan diri kepada-Nya),
tolong maz admin di ralat lagi tulisan anda ini pada tulisan yg diatas
Izin share pak Ustadz.. Jazakallah..